Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Ujung Ombak

8 Oktober 2024   20:37 Diperbarui: 8 Oktober 2024   21:13 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Pantai Enalewa (pasir panjang) di bawah kaki Gunung Inerie, Ngada, Flores, dokpri)

Di Ujung Ombak

Dian menatap laut yang terhampar di depannya. Garis cakrawala seolah tak berbatas, menantang keberaniannya dengan gemuruh ombak yang bergulung-gulung ke bibir pantai. Tubuhnya kaku, matanya terpaku, sementara jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Udara asin yang dihirupnya serasa lebih berat, membebani setiap tarikan napas. Di dalam hatinya, ada ketakutan yang sudah bertahun-tahun ia pendam.

Setiap kali ia mendekati laut, kengerian yang tak terjelaskan mencengkeramnya. Kegelapan di bawah permukaan air, ketidakpastian tentang apa yang ada di dasar laut, dan kenangan tenggelam saat masih kecil membuat setiap percik ombak terasa seperti ancaman. Meski dia tahu ketakutannya tidak rasional, dia tak pernah berhasil menyingkirkannya.

Pagi itu, ia datang ke pantai atas dorongan sahabatnya, Lina. "Kamu harus mencoba menghadapi ini, Di," kata Lina penuh keyakinan. "Aku tahu ini menakutkan, tapi laut bukan musuhmu. Mungkin kamu hanya perlu mengenalinya dengan cara yang berbeda."

Dengan langkah ragu, Dian mendekat ke tepi air. Ombak menyapa kakinya dengan lembut, namun dalam kepalanya, pikiran tentang kedalaman laut dan kegelapan langsung menguasai. Ia segera mundur, seakan ada tangan tak kasatmata yang menariknya menjauh.

"Aku nggak bisa, Lin," kata Dian putus asa. "Rasanya... terlalu berat."

Lina, yang berdiri di sampingnya, tersenyum lembut. "Kamu nggak harus menyelam hari ini, Di. Tapi, cobalah lihat air ini sebagai sesuatu yang bisa kamu ajak bicara. Mulai dari langkah kecil. Duduk di sini, dengarkan ombaknya, dan rasakan bahwa laut ini tak pernah bermaksud mencelakakanmu."

Dian menghela napas panjang, lalu duduk di pasir. Suara ombak mendekat dan menjauh, seirama dengan tarikan napasnya. Sedikit demi sedikit, ia mulai merasakan sesuatu yang berbeda - bukan lagi ancaman, melainkan kekuatan yang besar tapi penuh ketenangan. Ia memejamkan mata, membiarkan angin pantai menyentuh wajahnya, membawa rasa damai yang perlahan menyusup.

Hari-hari berlalu, dan Dian mulai mendekat ke laut sedikit demi sedikit. Setiap pagi ia datang ke pantai, membiasakan diri dengan suara dan kehadiran ombak. Lina selalu menemani, kadang hanya dengan duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Dian mulai belajar bahwa ketakutannya tidak hilang begitu saja, tetapi dia bisa menavigasinya, seperti perahu kecil yang mencoba memahami arah angin.

Pada suatu sore yang cerah, Dian berdiri lagi di tepi laut, namun kali ini dengan tekad yang berbeda. Kakinya perlahan masuk ke air. Ombak yang dulu menakutinya kini terasa sejuk di kulitnya. Dia tahu di bawah permukaan itu ada kedalaman yang tak terduga, tapi sekarang, dia ingin melihat laut dengan mata baru sebagai sebagai sahabat, bukan musuh.

Dengan napas panjang, Dian melangkah lebih dalam. Air kini mencapai pinggangnya. Jantungnya berdegup kencang, namun dia tidak mundur. Lina, yang memperhatikan dari kejauhan, tersenyum bangga.

Dian menatap ke depan, ke arah cakrawala yang luas. Ada perasaan damai yang mengalir di dalam dirinya. "Aku bisa melakukannya," bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun. 

Laut yang dulu membuatnya gemetar kini terasa seperti ruang yang besar, namun bukan lagi menakutkan. Ia mulai mengapung, merasakan ombak yang lembut mengangkat tubuhnya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa takut. Ia merasa bebas.

Saat matahari mulai terbenam, Dian tersenyum. Ketakutannya terhadap laut mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang, tapi hari ini, dia telah berhasil berdamai dengan bagian terdalam dari dirinya. Di ujung ombak, ia menemukan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan: keberanian yang selama ini tersembunyi di dalam hatinya.

Dian berjalan kembali ke pantai dengan senyum lebar, air laut menetes dari tubuhnya. Lina menghampiri dengan pelukan hangat.

"Kamu berhasil, Di," kata Lina bangga.

Dian mengangguk, matanya berkilauan. "Ya, dan aku merasa... luar biasa. Seperti aku baru saja menaklukkan sesuatu yang jauh lebih besar dari laut."

Mereka berdua duduk di tepi pantai, menyaksikan matahari tenggelam dengan warna-warna oranye dan merah yang memukau. Untuk pertama kalinya, laut di depan Dian bukan lagi simbol ketakutan, tetapi ruang penuh kemungkinan. Ia tak lagi terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya. 

Sekarang, ia tahu bahwa ombak akan selalu datang dan pergi, dan ia pun bisa bergerak bersamanya, tanpa rasa takut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun