Wanita itu tertawa kecil. "Lalu mengapa sekarang mereka tidak datang lagi? Toko-tokoku tetap berdiri, dan buku-buku yang dulu dianggap subversif kini bebas dijual. Apa hantu itu sudah lelah? Atau mungkin, mereka tidak pernah ada?"
Pria tua itu menatapnya dengan tajam. "Mereka ada. Kau yang tidak peka."
Wanita itu mengangkat bahu. "Jika memang ada, kenapa mereka tidak lagi muncul? Apa mungkin... karena tidak ada yang memanggil mereka lagi?"
Pria tua itu terdiam. Ia menatap rak buku di sekelilingnya, merasakan kehampaan yang aneh. Dulu, setiap kali ia mendengar kata "komunis," dadanya bergemuruh dengan amarah dan ketakutan. Ia adalah salah satu dari mereka yang merasa berkewajiban menjaga bangsa ini dari ancaman merah. Tapi sekarang, amarah itu terasa hambar, seperti kopi yang terlalu lama diseduh hingga dingin.
"Kenapa kau mempertanyakan keberadaannya?" tanya pria tua itu, mencoba menguatkan keyakinannya. "Komunisme sudah membunuh banyak orang, menghancurkan banyak keluarga. Apakah kau lupa sejarah?"
Wanita itu menatapnya lama, kemudian berkata dengan nada dingin, "Sejarah siapa yang kau maksud?"
Pria tua itu tertegun. Pertanyaan itu membungkamnya seketika. Di benaknya, sejarah adalah sesuatu yang jelas: ada yang hitam dan ada yang putih. Ada kebenaran yang mutlak. Tapi, dalam keheningan yang menggantung di toko itu, pertanyaan tersebut menggelitik pikirannya. Sejarah siapa?
Ia mulai melangkah keluar dari toko itu. Di jalanan, angin malam berhembus perlahan, membawa aroma nostalgia yang samar. Langkahnya terhenti sejenak di depan poster besar yang menggambarkan wajah-wajah politikus muda yang tersenyum, menjanjikan masa depan cerah tanpa bayang-bayang masa lalu.
Ia teringat lagi tentang hantu itu -tentang bahaya laten yang terus ia yakini masih mengintai. Tapi di tengah kegelapan malam, ia mulai merasakan sesuatu yang aneh. Seolah-olah hantu yang dulu selalu ia bayangkan sebagai ancaman besar kini mulai memudar. Apakah hantu itu benar-benar ada? Ataukah selama ini hanya bayang-bayang ketakutan yang ia ciptakan sendiri?
Di kejauhan, seorang anak muda berjalan sambil menenteng buku tebal dengan sampul merah. Pria tua itu menghentikan langkahnya dan memanggil, "Hei! Kau! Apa yang kau bawa?"