HANTU YANG HILANG DI TENGAH WAKTU
Di sebuah ruangan remang-remang, suara lantang seorang pria tua terdengar menggema, menyerukan bahaya laten Komunisme. Wajahnya yang keriput dan matanya yang suram mencerminkan usia dan pengalamannya berpuluh tahun menjaga narasi ini. Setiap September dan Oktober, ia naik ke panggung yang sama, dengan suara yang sama, memekikkan kalimat-kalimat yang sudah dihafalnya di luar kepala.
Namun, kali ini ada yang berbeda. Ketika ia selesai berbicara, tepuk tangan tidak seramai dulu. Hanya beberapa orang di barisan depan yang masih menunjukkan antusiasme. Di bagian belakang, sebagian besar terlihat sibuk dengan ponsel mereka. Beberapa bahkan tampak menguap, mengindikasikan kebosanan.
"Apakah mereka sudah lupa?" pikir pria tua itu, melirik kerumunan dengan mata sayu.
Setelah acara selesai, pria tua itu berjalan pelan menuju sebuah toko buku di sudut kota. Dulu, toko ini menjadi sasaran kemarahan massa yang percaya bahwa buku-buku di dalamnya mengandung ajaran komunis. Beberapa kali kaca etalase tokonya dipecahkan, dan buku-buku dirampas dan dibakar di pinggir jalan. Pemiliknya, seorang wanita paruh baya, hanya bisa meratapi nasib sembari membersihkan sisa-sisa pembakaran yang berceceran.
Namun kini, toko itu berdiri kokoh, tenang. Tidak ada lagi kemarahan massa. Tidak ada lagi suara riuh yang menuduh ini dan itu sebagai pengkhianat negara.
"Pak, masih percaya kalau hantu itu ada?" Pemilik toko, wanita berambut abu-abu, menyapanya saat ia masuk.
Pria tua itu terdiam, matanya menjelajah deretan buku di rak. "Hantu? Hantu apa?"
"Kau tahu apa yang kumaksud," jawab wanita itu sembari tersenyum sinis. "Yang katanya bergentayangan setiap September dan Oktober. Hantu yang dulu menyerang kami, membuat orang-orang takut membaca dan berpikir."
"Bahaya laten itu nyata," jawab pria tua itu, suaranya bergetar. "Hantu itu masih ada. Hanya menunggu waktu untuk bangkit lagi."