Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Luka di Balik Dinding Sekolah

4 Oktober 2024   05:00 Diperbarui: 4 Oktober 2024   08:10 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Luka di Balik Dinding Sekolah

Di sudut sekolah, Farhan duduk sendirian. Pandangannya menatap kosong pada lapangan yang mulai sepi seiring berakhirnya jam pelajaran. Tubuhnya ringkih, namun ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar fisik yang terlihat lemah. Ada luka, bukan hanya di kulit, tapi juga di hatinya. Luka yang tak terlihat, tapi terasa setiap saat.

Farhan adalah anak yang pendiam, sering kali terlihat lebih suka menyendiri. Sejak dia masuk sekolah menengah ini, dia sering menjadi sasaran ejekan teman-temannya. Mula-mula hanya olok-olok biasa tentang tubuhnya yang kurus dan kacamatanya yang tebal. Tapi lama kelamaan, ejekan itu berubah menjadi intimidasi, lalu kekerasan. Setiap hari, sekelompok siswa yang dipimpin oleh Rio, murid paling populer di kelasnya, menjadikan Farhan sebagai bahan lelucon dan target kekerasan.

Di mata guru, Rio adalah siswa yang baik, pintar, dan aktif di berbagai kegiatan. Namun, di balik dinding sekolah, dia adalah pemimpin kelompok yang suka menindas. "Dia hanya lelucon, Han," kata Rio sambil menepuk punggung Farhan dengan keras suatu siang di kantin. Tapi bagi Farhan, lelucon itu tidak pernah lucu. Tamparan di punggung, dorongan di lorong, hingga kata-kata kasar yang sering dilontarkan kepadanya telah membuatnya semakin terpuruk.

Semakin lama, Farhan semakin tenggelam dalam kesendiriannya. Tidak ada seorang pun yang dia percaya untuk menceritakan penderitaannya. Teman-teman sekelasnya tampak acuh, dan beberapa malah ikut-ikutan menertawakannya. Guru-guru sibuk, menganggap masalah siswa sebagai hal sepele jika tidak menyangkut prestasi akademik. Farhan merasa sendirian, terkurung dalam dinding-dinding sekolah yang harusnya menjadi tempat aman baginya.

Suatu hari, Farhan tidak datang ke sekolah. Bukan hanya sehari, tapi seminggu penuh. Tidak ada yang benar-benar memperhatikan absensinya, kecuali seorang guru Bahasa Indonesia bernama Bu Ratna. Beliau adalah satu-satunya yang menyadari perubahan perilaku Farhan dalam beberapa bulan terakhir. Bu Ratna mendengar bisik-bisik tentang bullying yang dilakukan oleh Rio dan teman-temannya, tapi selama ini dia tidak punya bukti yang cukup untuk menindak.

Pagi itu, Bu Ratna memutuskan untuk mengunjungi rumah Farhan. Setelah mengetuk pintu, dia disambut oleh seorang wanita tua yang terlihat lelah. Itu ibunya Farhan.

"Bu Ratna?" tanya sang ibu, terkejut melihat guru anaknya berdiri di ambang pintu. "Farhan tidak bisa ke sekolah, Bu."

"Apa yang terjadi, Bu?" tanya Bu Ratna dengan nada prihatin.

"Dia jatuh sakit, dan... dia tidak mau bercerita. Saya tahu ada sesuatu yang salah, tapi dia menutup diri dari saya," jawab ibunya dengan suara bergetar. Air mata mulai menggenang di sudut matanya.

Bu Ratna merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar sakit fisik. Setelah mendapatkan izin dari ibunya, Bu Ratna masuk ke kamar Farhan. Anak itu terbaring di tempat tidur, wajahnya pucat dan matanya tampak hampa. Bu Ratna duduk di samping tempat tidur Farhan dan mengusap lembut bahunya.

"Farhan, Ibu tahu kamu sedang tidak baik-baik saja," kata Bu Ratna dengan lembut. "Kamu tidak sendiri. Apa yang terjadi di sekolah? Kamu bisa bercerita pada Ibu."

Perlahan-lahan, Farhan menangis. Tangis yang sudah lama dia tahan akhirnya pecah. Dengan suara bergetar, dia mulai menceritakan semua yang dia alami. Dari ejekan hingga kekerasan yang dia terima setiap hari dari Rio dan teman-temannya. Bu Ratna mendengarkan dengan sabar, hatinya perih mendengar setiap detail kekerasan yang dialami Farhan.

"Ibu akan bantu, Nak," ucap Bu Ratna tegas. "Ibu tidak akan biarkan kamu terus menderita seperti ini."

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Setelah percakapan itu, Bu Ratna tidak tinggal diam. Dia segera melapor kepada kepala sekolah, memanggil Rio dan teman-temannya, dan melakukan mediasi dengan melibatkan orang tua mereka. Rio, yang biasanya penuh percaya diri, terlihat terpojok di hadapan kepala sekolah dan orang tuanya. Dia mencoba menyangkal, tapi ada saksi lain yang akhirnya berani bersuara. Teman-teman Farhan yang dulu acuh, kini ikut angkat bicara setelah melihat keberanian Bu Ratna.

Proses mediasi berjalan tegang, tapi di akhir, Rio dan teman-temannya diminta untuk meminta maaf kepada Farhan di hadapan semua siswa. Itu bukan proses yang mudah bagi Rio. Di mata siswa lain, dia adalah bintang sekolah, namun kini, dia harus mengakui kesalahannya. Di hadapan seluruh kelas, Rio berdiri dengan gugup.

"Aku minta maaf, Farhan," ucap Rio, suaranya pelan, namun terdengar ke seluruh ruangan. "Aku tahu apa yang kulakukan salah, dan aku tidak bisa mengulanginya lagi."

Farhan tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Rio dengan mata yang masih menyimpan luka. Meski Rio telah meminta maaf, rasa sakit itu tidak mudah hilang begitu saja.

Hari demi hari berlalu. Perlahan-lahan, suasana sekolah berubah. Kepala sekolah mulai memperkuat program pencegahan kekerasan, mengadakan pelatihan anti-bullying untuk siswa dan guru, serta menyediakan layanan konseling bagi siapa pun yang membutuhkannya. Teman-teman Farhan yang dulu hanya menonton dari kejauhan, kini mulai menunjukkan dukungan. Beberapa di antaranya bahkan mengajaknya bergabung dalam kegiatan ekstrakurikuler yang lebih inklusif.

Suatu siang, setelah berbulan-bulan sejak kejadian itu, Farhan duduk di bawah pohon di halaman sekolah. Kali ini, dia tidak sendirian. Ada beberapa teman yang duduk bersamanya, berbagi cerita dan tertawa. Mereka membicarakan banyak hal---tentang pelajaran, tentang hobi, tentang masa depan.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Rio, yang pernah menjadi bayangan kelam dalam hidupnya, kini hanyalah bagian dari masa lalu yang telah ia tinggalkan. Farhan tidak lagi menyimpan dendam, meski luka itu akan selalu menjadi pengingat baginya bahwa kekerasan dalam bentuk apapun tidak pernah menjadikan seseorang lebih hebat.

Suatu saat, ketika Farhan berjalan di lorong sekolah, dia berpapasan dengan Rio. Keduanya bertukar pandang sejenak. Tidak ada kata yang terucap, namun dalam hati Farhan, dia tahu satu hal: tidak ada yang lebih kuat dari kemampuan untuk bangkit dari luka dan menemukan kembali harga diri yang sempat hilang.

Dan di sanalah, di balik dinding sekolah, Farhan menemukan dirinya kembali. Tidak sebagai korban, tapi sebagai sosok yang lebih kuat dari sebelumnya.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun