Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kejujuran di Tepi Senja

3 Oktober 2024   09:45 Diperbarui: 3 Oktober 2024   09:47 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Kejujuran di Tepi Senja

Mendung menggantung rendah, seakan siap menumpahkan air hujan kapan saja. Bayu, seorang siswa SMA yang dikenal cerdas dan berprestasi, duduk gelisah di meja belajarnya. Ujian akhir sudah dekat, dan rasa cemasnya semakin memuncak. Di tangan Bayu tergenggam sebuah kertas kecil penuh jawaban yang telah disiapkannya semalaman, tersembunyi di balik buku catatannya.

"Aku nggak bisa gagal. Nilai ini penentu beasiswaku ke universitas," gumamnya dalam hati. Namun, bayangan ibunya yang sering kali menekankan pentingnya kejujuran muncul di benaknya, mengusik hatinya yang sudah kacau.

Bayu menatap kertas contekan itu. Rasanya, kali ini ia tidak bisa hanya mengandalkan usahanya sendiri. Persaingan di kelas sangat ketat, dan teman-temannya selalu tampak satu langkah lebih maju. Ia tahu menyontek itu salah, tapi pikirannya terus menerus menimbang-nimbang antara risiko ketahuan dan peluang untuk lolos dari masalah ini dengan mudah.

"Bayu, kamu sudah besar. Ingat, satu kebohongan akan membawa kebohongan lainnya," suara ibunya terngiang lagi. Suara hati Bayu mulai berperang. Di satu sisi, ia tahu bahwa menyontek adalah perbuatan salah. Di sisi lain, ketakutan akan kegagalan membuatnya tergoda untuk mengambil jalan pintas.

Ketika bel ujian berbunyi, suasana kelas menjadi hening. Semua murid mulai mengerjakan soal. Bayu duduk diam, menatap soal-soal yang terpampang di depannya. Beberapa soal tampak mudah, tapi banyak juga yang membuat keningnya berkerut. Ia merasa semakin terjebak dalam kebingungan. Perlahan-lahan, tangan kanannya mulai bergerak menuju contekan di balik buku.

Namun, sebelum ia menarik kertas itu keluar, suara lain berbisik di dalam pikirannya. Suara hati yang selalu mengingatkan bahwa apa pun yang ia peroleh dengan cara curang, pada akhirnya hanya akan menipu dirinya sendiri. Rasa bersalah mulai menjalar, membuat keringat dingin mengucur di pelipisnya. Jika ia menyontek dan ketahuan, reputasinya yang dibangun selama ini akan hancur. Tetapi jika ia gagal tanpa contekan, harapannya untuk beasiswa itu juga akan musnah.

Pergulatan batinnya semakin keras. Hatinya berat, seperti ditindih ribuan beban. Bayu menunduk, menggenggam contekan itu erat di tangan. Hatinya terus berdebat: "Apakah benar ini satu-satunya cara untuk bertahan?"

Waktu terus berjalan. Setengah jam berlalu, dan Bayu belum juga menulis apa pun. Ketika ia hendak memutuskan sesuatu, tiba-tiba sesuatu yang tak terduga terjadi. Gorden di samping meja guru tersibak angin, memperlihatkan jendela besar yang terbuka lebar. Di luar, di tengah langit yang mendung, Bayu melihat burung-burung kecil terbang bebas, melawan angin. Entah mengapa, pemandangan itu memengaruhinya. Bayu teringat akan kebebasan yang selalu diinginkan dalam hidup -kebebasan untuk memilih benar atau salah, kebebasan untuk hidup dengan damai tanpa dihantui rasa bersalah.

Tanpa ragu, Bayu meremas contekan itu dengan erat hingga kertasnya hancur di tangannya. Ia mengambil napas panjang, lalu mengisi jawaban secepat mungkin dengan kemampuan yang ia punya. Hatinya kini lebih tenang, meskipun ada ketidakpastian tentang hasil yang akan ia peroleh. Tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia telah memilih kejujuran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun