Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Masih Saktikah Engkau, Ketika Korupsi Menggurita

1 Oktober 2024   11:42 Diperbarui: 1 Oktober 2024   11:42 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih Saktikah Engkau, Ketika Korupsi Menggurita

Di atas langit biru, terselip doa suci,
Namun tangan hitam menyapu cermin nurani,
Ketuhanan tinggal nama, hampa di jiwa,
Korupsi menggulung, mengoyak arti hakikat-Nya,
Masihkah kita sujud di bawah bayang ilusi?

Darah mengalir di kaki jalan berdebu,
Adil tak lagi berharga, tertelan nafsu,
Kemanusiaan tergadai di meja penuh lembaran,
Keserakahan jadi raja, rakyat jadi korban,
Adakah adab tersisa di relung kegelapan?

Tanah air terbelah, direnggut kepentingan pribadi,
Persatuan kian pudar, terpecah oleh janji,
Korupsi menjalar, memecah sabuk Nusantara,
Di mana semangat juang, di mana sumpah setia,
Masihkah kita satu di tengah dendam dan dusta?

Suara rakyat ditelan ego dan ambisi,
Pemimpin duduk tinggi, lupa akan janji,
Permusyawaratan hanyalah sandiwara kosong,
Kebijaksanaan terkikis, terjual dalam bingkai bohong,
Di mana wakil yang mengerti jerit nurani?

Mimpi tentang adil terbang jauh bersama angin,
Keadilan hanya bagi mereka yang mampu dan yakin,
Yang kecil terinjak, yang lemah tertindas,
Sementara korupsi merajalela tanpa batas,
Masihkah ada harapan bagi keadilan yang pantas?

Puisi berjudul Masih Saktikah Engkau, Ketika Korupsi Menggurita hendak mengajak pembaca untuk merenungkan secara mendalam makna Pancasila di tengah maraknya korupsi yang melanda Indonesia. Setiap bait memuat kritik yang tajam dan reflektif, menggambarkan bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mulai pudar di hadapan praktik-praktik korupsi yang menggurita.

Bait pertama yang mencerminkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengajak kita mempertanyakan keberadaan nilai religius di tengah perilaku amoral yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjunjung tinggi keimanan. Korupsi telah menjauhkan manusia dari rasa takut akan Tuhan, menjadikan agama sebagai formalitas tanpa makna spiritual yang sesungguhnya.

Bait kedua, yang menggambarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, menampilkan potret suram kemanusiaan yang tersisih oleh keserakahan. Keadilan yang seharusnya ditegakkan menjadi barang langka di negeri ini, di mana korupsi melahirkan ketidakadilan yang semakin menyesakkan. Mereka yang berkuasa seringkali memanfaatkan kekuatan mereka untuk mengabaikan hak-hak orang lemah, menjadikan kemanusiaan sekadar konsep yang hampa di atas kertas. Puisi ini menyuarakan kepedihan ketika nilai-nilai kemanusiaan dikorbankan demi kepentingan pribadi.

Pada bait ketiga, puisi ini menggambarkan hilangnya Persatuan Indonesia di tengah arus korupsi yang merusak sendi-sendi kebangsaan. Persatuan yang seharusnya kokoh kini terancam oleh egoisme, fanatisme kelompok, dan kepentingan segelintir elit. Korupsi menjadi penghalang bagi rasa kebersamaan, memecah belah persatuan yang telah dibangun oleh para pendiri bangsa. Dalam konteks ini, persatuan yang dulu kuat kini terasa rapuh, membuat kita bertanya-tanya apakah semangat nasionalisme masih utuh.

Bait keempat, terkait Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dengan tegas mengkritik praktik politik yang telah jauh dari semangat demokrasi dan musyawarah. Para wakil rakyat yang seharusnya membawa suara dan aspirasi masyarakat sering kali justru terjebak dalam korupsi dan ambisi pribadi. Permusyawaratan dan hikmat kebijaksanaan hilang, digantikan oleh kepentingan sempit yang merugikan rakyat. Dengan penuh ironi, bait ini menyatakan betapa jauh kita telah tersesat dari cita-cita demokrasi yang bijaksana. Politik diatur oleh kepentingan segelintir pihak yang bahkan dengan tega merongrong konstitusi demi melenggangkan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Konstitusi diubah bukan atas dasar musyawarah tetapi atas dasar kehendak penguasa.

Bait terakhir menggarisbawahi sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menampilkan ketimpangan sosial yang semakin merajalela akibat korupsi. Mereka yang lemah dan kecil sering kali menjadi korban dari ketidakadilan yang disebabkan oleh kekuatan korupsi. Dalam realitas yang dihadirkan oleh bait ini, keadilan sosial hanya menjadi mimpi yang sulit diraih, menyisakan pertanyaan apakah masih ada harapan untuk mencapai keadilan sejati bagi seluruh rakyat. Puisi ini dengan lugas menggambarkan betapa nilai-nilai luhur Pancasila semakin memudar di tengah praktik korupsi yang menggerogoti bangsa. Dengan korupsi, apa yang seharusnya menjadi hak rakyat kecil dan miskin dirampas secara paksa.

Lalu kita disuruh mengheningkan cipta sembari bertanya diri: Masih Saktikah Pancasila kita jika para pejabat dan penguasa berebutan kekuasaan atas nama rakyat dalam dompet korupsi yang seperti kian subur dan menyeluruh?

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun