Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Permainan yang Lebih Besar

26 September 2024   10:50 Diperbarui: 26 September 2024   10:51 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ilustrasi diolah dengan GemAIBot, dokpri)

Permainan yang Lebih Besar

Suasana di Kota Mandiri riuh dengan gemuruh Pilkada 2024. Semua orang sibuk membicarakan nomor urut calon kepala daerah yang baru saja ditetapkan. Di jalan-jalan, baliho dengan wajah tersenyum lebar para kandidat menjulang tinggi, seolah mengawasi setiap sudut kota. Masyarakat terpaku pada nomor urut yang seolah menyimpan pesan tersirat. Bagi mereka, nomor bukan sekadar angka, tetapi harapan -simbol janji akan perubahan yang diidam-idamkan.

Nomor satu, nomor keberuntungan. Semua orang mengaitkan nomor itu dengan kemenangan. Kandidat yang mendapatkannya, Bayu, seorang pengusaha sukses yang masuk ke dunia politik, segera memanfaatkan mitos tersebut. "Satu untuk perubahan besar!" begitu bunyi slogan kampanyenya, yang diiringi janji reformasi ekonomi, pemberantasan korupsi, dan kesejahteraan rakyat.

Nomor dua, Ratna, mantan birokrat yang dikenal lurus, memanfaatkan simbol keseimbangan. "Nomor dua, untuk adil bagi semua." Dengan sikap tenang, ia menawarkan solusi untuk menyeimbangkan kesenjangan ekonomi dan mengurangi korupsi yang sudah lama merajalela di kota itu.

Lalu ada nomor tiga, Agus, yang membawa simbol persatuan. "Bersatu, kita kuat!" Setiap kali dia berbicara, ia berjanji akan mempersatukan semua lapisan masyarakat dan membawa perubahan melalui kerja sama dan partisipasi publik.

Namun, di balik semua janji manis ini, ada hal yang lebih gelap yang tak terlihat di permukaan. Money politik sudah mulai merayap ke dalam setiap kampanye. Bayu, dengan sumber daya yang tak terbatas, mulai "menyentuh" beberapa kelompok masyarakat melalui sumbangan tak resmi, bantuan logistik, dan uang tunai. Di kampung-kampung terpencil, cerita tentang amplop coklat yang berisi uang sudah menjadi rahasia umum. "Satu nomor, satu amplop," begitu bisik-bisik di kalangan warga.

Ratna, meski terlihat bersih di permukaan, tak lepas dari godaan para pendonor yang menawarkan bantuan dengan imbalan proyek ketika dia terpilih. Agus, dengan senyumnya yang ramah, diam-diam bekerja sama dengan para pengusaha yang siap membiayai kampanyenya dengan harapan mendapatkan kontrak-kontrak besar jika dia duduk di kursi kepala daerah.

(ilustrasi diolah dengan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi diolah dengan GemAIBot, dokpri)

Satria, seorang jurnalis muda yang bekerja untuk surat kabar lokal, mengikuti perkembangan ini dengan cermat. Dari luar, semuanya tampak seperti kampanye politik biasa, tetapi Satria mencium sesuatu yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih busuk. Berbagai sumber di lapangan mulai memberitahunya tentang praktik money politik yang semakin meluas, serta rumor adanya perjudian besar di balik penetapan nomor urut.

Suatu malam, Satria mendapat informasi anonim tentang pertemuan rahasia yang akan diadakan di hotel bintang lima di pinggiran kota. Tanpa ragu, ia menyamar dan masuk ke lokasi. Yang ia temukan sungguh mengejutkan: bukan hanya para calon kepala daerah yang hadir, tetapi juga beberapa tokoh berpengaruh dari dunia bisnis dan politik, serta bandar-bandar besar yang berperan dalam perjudian hasil Pilkada.

Malam itu, sebuah percakapan yang tak terduga terjadi. Bayu, Ratna, dan Agus ternyata bukanlah musuh seperti yang selama ini digambarkan di depan publik. Di ruangan itu, mereka tertawa bersama, berbagi cerita tentang taktik dan strategi mereka untuk memenangkan hati rakyat. Namun, yang membuat Satria tercengang bukan hanya kedekatan mereka, melainkan perjudian yang sedang berlangsung di belakang layar.

(ilustrasi diolah pakai GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi diolah pakai GemAIBot, dokpri)

"Nomor urut ini bukan sekadar undian," ujar salah satu bandar dengan nada dingin. "Ini adalah permainan yang sudah kita atur. Kita pasang taruhan besar pada siapa yang akan menang, dan kita yang tentukan hasilnya."

Satria terdiam di sudut ruangan, menyadari bahwa nomor urut yang begitu diagung-agungkan oleh masyarakat hanyalah bagian dari permainan kotor. Judi politik di balik Pilkada itu sudah terstruktur dengan baik. Para kandidat tidak benar-benar bersaing untuk merebut hati rakyat, tetapi untuk memastikan bahwa mereka memenuhi kesepakatan yang sudah dibuat dengan para penguasa bayangan.

Bayu, yang dikenal sebagai pengusaha kaya, memasang taruhan besar pada dirinya sendiri. Jika dia menang, keuntungan dari proyek-proyek pemerintah yang sudah disiapkan akan melunasi taruhannya dan memberi lebih banyak kekayaan. Ratna, yang dikenal sebagai calon bersih, ternyata sudah dibeli oleh salah satu pemodal besar yang memasang taruhan atas namanya. Agus, yang kampanye persatuannya begitu menyentuh, ternyata hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar.

Malam itu, Satria menyadari bahwa nomor urut yang disanjung oleh masyarakat tak lebih dari alat pengalihan. Mereka sudah tertipu oleh janji-janji manis yang tak lebih dari buih kosong. Segala kampanye moral dan integritas yang digembar-gemborkan para kandidat hanyalah ilusi, di mana mereka semua sudah terjebak dalam permainan uang dan judi politik.

Namun, saat Satria hendak keluar dari hotel untuk membongkar semuanya, ia ditangkap oleh dua pria berbadan besar. Mereka membawanya ke sebuah ruangan gelap dan menguncinya di sana. Di ruangan itu, seorang pria paruh baya dengan senyum dingin masuk.

(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)
(ilustrasi olahan GemAIBot, dokpri)

"Kau pikir kau bisa mengubah apa pun dengan tulisanmu, Satria?" tanya pria itu. "Ini lebih besar dari yang kau bayangkan. Nomor urut, kampanye, janji manis - semua sudah kita rencanakan. Ini bukan tentang rakyat lagi. Ini tentang siapa yang punya uang lebih banyak dan siapa yang bisa mengendalikan permainan."

Satria berusaha melawan, tetapi tubuhnya terlalu lelah. Pria itu mendekat, memberinya amplop yang tebal. "Ambil ini dan lupakan segalanya. Tidak ada yang bisa kau ubah. Kau tidak ingin berakhir seperti jurnalis lainnya, bukan?"

Satria merasakan amplop itu di tangannya - berat dengan uang. Dia tahu apa yang harus dia lakukan, tetapi di saat yang sama, dia juga tahu bahwa dunia ini terlalu kotor untuk dia bersihkan sendiri.

Keesokan paginya, berita tentang Pilkada Kota Mandiri tetap seperti biasa. Bayu, Ratna, dan Agus terus melanjutkan kampanye mereka dengan nomor urut mereka yang penuh simbolisme, sementara Satria terdiam dalam dilema moralnya.

Seminggu kemudian. Ketika hasil Pilkada diumumkan, pemenangnya bukanlah Bayu, Ratna, atau Agus, tetapi seorang calon independen yang hampir tak diperhitungkan. Rupanya, dalam permainan besar itu, ada satu hal yang mereka lupakan: rakyat. Rakyat yang selama ini mereka anggap bisa dibeli dan dikendalikan, ternyata masih memiliki suara. Mereka memilih seseorang yang tak terlibat dalam money politik, perjudian, atau gimik nomor urut.

Satria tak pernah menulis cerita itu. Karena di dunia di mana uang dan kekuasaan berkuasa, terkadang kebenaran hanyalah satu hal yang terkunci rapat di balik amplop tebal. Dan uang itu dia serahkan semuanya sebuah panti asuhan milik pemodal dari salah satu peserta. Pilkada memang penuh liku dan liku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun