Malam itu, sebuah percakapan yang tak terduga terjadi. Bayu, Ratna, dan Agus ternyata bukanlah musuh seperti yang selama ini digambarkan di depan publik. Di ruangan itu, mereka tertawa bersama, berbagi cerita tentang taktik dan strategi mereka untuk memenangkan hati rakyat. Namun, yang membuat Satria tercengang bukan hanya kedekatan mereka, melainkan perjudian yang sedang berlangsung di belakang layar.
"Nomor urut ini bukan sekadar undian," ujar salah satu bandar dengan nada dingin. "Ini adalah permainan yang sudah kita atur. Kita pasang taruhan besar pada siapa yang akan menang, dan kita yang tentukan hasilnya."
Satria terdiam di sudut ruangan, menyadari bahwa nomor urut yang begitu diagung-agungkan oleh masyarakat hanyalah bagian dari permainan kotor. Judi politik di balik Pilkada itu sudah terstruktur dengan baik. Para kandidat tidak benar-benar bersaing untuk merebut hati rakyat, tetapi untuk memastikan bahwa mereka memenuhi kesepakatan yang sudah dibuat dengan para penguasa bayangan.
Bayu, yang dikenal sebagai pengusaha kaya, memasang taruhan besar pada dirinya sendiri. Jika dia menang, keuntungan dari proyek-proyek pemerintah yang sudah disiapkan akan melunasi taruhannya dan memberi lebih banyak kekayaan. Ratna, yang dikenal sebagai calon bersih, ternyata sudah dibeli oleh salah satu pemodal besar yang memasang taruhan atas namanya. Agus, yang kampanye persatuannya begitu menyentuh, ternyata hanyalah pion dalam permainan yang lebih besar.
Malam itu, Satria menyadari bahwa nomor urut yang disanjung oleh masyarakat tak lebih dari alat pengalihan. Mereka sudah tertipu oleh janji-janji manis yang tak lebih dari buih kosong. Segala kampanye moral dan integritas yang digembar-gemborkan para kandidat hanyalah ilusi, di mana mereka semua sudah terjebak dalam permainan uang dan judi politik.
Namun, saat Satria hendak keluar dari hotel untuk membongkar semuanya, ia ditangkap oleh dua pria berbadan besar. Mereka membawanya ke sebuah ruangan gelap dan menguncinya di sana. Di ruangan itu, seorang pria paruh baya dengan senyum dingin masuk.
"Kau pikir kau bisa mengubah apa pun dengan tulisanmu, Satria?" tanya pria itu. "Ini lebih besar dari yang kau bayangkan. Nomor urut, kampanye, janji manis - semua sudah kita rencanakan. Ini bukan tentang rakyat lagi. Ini tentang siapa yang punya uang lebih banyak dan siapa yang bisa mengendalikan permainan."
Satria berusaha melawan, tetapi tubuhnya terlalu lelah. Pria itu mendekat, memberinya amplop yang tebal. "Ambil ini dan lupakan segalanya. Tidak ada yang bisa kau ubah. Kau tidak ingin berakhir seperti jurnalis lainnya, bukan?"
Satria merasakan amplop itu di tangannya - berat dengan uang. Dia tahu apa yang harus dia lakukan, tetapi di saat yang sama, dia juga tahu bahwa dunia ini terlalu kotor untuk dia bersihkan sendiri.