IRONI PEKAN OLAHRAGA NASIONAL 2024
Saya hendak mengawali karut marut pelaksanaan PON 2024 di Sumatera Utara dan Aceh dengan sebuah puisi yang terasa pahit berikut ini:
KOPI PAHIT PON 2024
Pada cangkir pagi, kuhirup pahit,
Di tengah riuh Aceh-Sumut bersolek,
PON yang seharusnya manis tersaji,
Tersandung masalah, janji rapuh terurai,
Atlet berpeluh, mimpi tercemar abu-abu,
Di manakah gairah sportivitas yang dulu?
Panggung olahraga jadi ajang cela,
Fasilitas reot, persiapan tak sempurna,
Pemerintah lupa, janji harus ditegak,
Bukan hanya podium, tapi rasa hormat,
Pada tiap kaki yang melangkah tegar,
Perlu asa, perlu tindakan nyata segera.
Harapan esok tak sehitam hari ini,
PON harus kembali jadi wajah negeri,
Dimana prestasi melahirkan mimpi baru,
Pemerintah, bangkitlah dari kelalaian lalu,
Sediakan ruang bagi mereka yang berjuang,
Agar semangat tetap menyala, tak pernah padam.
Karut marut pelaksaan PON yang paling kasat mata adalah ketika berlangsung pertandingan sepak bola putra antara Aceh vs Sulewesi Tengah. Ada kejadian memalukan salah satu pemain dari Sulawesi memukul wasif hingga terkapar dan membutuhkan penanganan medis. Kejadian ini bermula dari kepemimpinan wasit yang tidak tegas dan cenderung tidak adil. Kejadian yang seharusnya bukan pinalti, oleh wasit dihukum pinalti. Bahkan sampai dua kali sehingga menyebabkan para pemain Sulteng melakukan WO. Saya mengungkapkan kegundahan itu melalui puisi di atas dan mencoba menjelaskannya seperti di bawah ini.
Puisi di atas menggambarkan kekecewaan dan kritik terhadap pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh-Sumut 2024. Sungguh sebuah ironi dari ajang olahraga yang seharusnya menggembirakan dan penuh prestasi, namun diwarnai dengan ketidaksiapan, ketidakjujuran, dan kekecewaan terhadap janji-janji yang tidak ditepati.
Kita lihat pada bait pertama berupa gambaran tentang harapan yang dirusak oleh berbagai permasalahan yang timbul, seperti infrastruktur yang belum selesai dan janji yang tidak dipenuhi. Ini menimbulkan kekecewaan tidak hanya bagi atlet, tapi juga bagi masyarakat luas yang seharusnya menikmati semangat sportivitas. Bait kedua menyoroti betapa lemahnya pengelolaan dan kesiapan pemerintah dalam memastikan ajang olahraga ini berjalan lancar, sementara bait ketiga berisi harapan akan adanya perbaikan di masa depan.
Tiga Tinjauan Yang Menyertainya
Dari perspektif psikologis, puisi ini mencerminkan frustrasi dan rasa tidak berdaya yang mungkin dirasakan oleh para atlet dan masyarakat. Ajang seperti PON adalah kesempatan penting bagi atlet untuk bersinar, namun ketika persiapan dan fasilitas tidak mendukung, hal ini bisa menimbulkan rasa kecewa dan kehilangan motivasi.
Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya, atlet-atlet ini memiliki kebutuhan untuk dihargai dan merasa bahwa mereka bertanding di lingkungan yang adil dan kondusif. Jika kondisi seperti yang tergambar dalam puisi terjadi, kebutuhan mereka akan penghargaan dan aktualisasi diri tidak akan terpenuhi, yang dapat menurunkan kinerja serta rasa percaya diri mereka.
Pakar psikologi olahraga, seperti Robert Weinberg, menyatakan bahwa kesiapan mental atlet sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan dukungan yang mereka terima. Ketika lingkungan bertanding tidak ideal, hal ini dapat mengganggu fokus dan performa atlet, serta memperburuk kesehatan mental mereka. Ini mengindikasikan betapa pentingnya persiapan yang matang agar sportivitas dan mentalitas juara tetap terjaga.
Dari sudut pandang sosiologis, puisi ini menyoroti ketimpangan sosial yang terjadi dalam penyelenggaraan acara besar seperti PON. Fasilitas yang tidak memadai, pengelolaan anggaran yang buruk, dan minimnya perhatian dari pemerintah mencerminkan ketidakadilan sosial yang seringkali terjadi dalam berbagai proyek besar.