Pierre Bourdieu, seorang sosiolog ternama, dalam konsepnya tentang "modal sosial" menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi modal ekonomi, sosial, dan budaya dapat memperparah ketimpangan di masyarakat. Dalam konteks PON, para atlet, yang mewakili kelompok dengan modal sosial (prestasi, bakat), sering kali terpinggirkan oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang lebih besar.
Selain itu, Emile Durkheim menyebutkan pentingnya "kesadaran kolektif" dalam masyarakat yang dapat tercipta melalui acara nasional seperti PON. Namun, jika acara ini gagal memenuhi harapan, maka ia justru bisa memecah solidaritas sosial dan memperkuat sikap apatis masyarakat terhadap pemerintah dan instansi yang bertanggung jawab.
Dari aspek hukum, ketidaksiapan dalam penyelenggaraan PON mengarah pada pelanggaran administrasi dan pengelolaan dana yang tidak transparan, yang seharusnya diawasi ketat oleh lembaga negara terkait. Pemerintah dan penyelenggara seharusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, yang menekankan pentingnya penyelenggaraan ajang olahraga yang profesional dan berintegritas.
Permasalahan anggaran dan infrastruktur dalam PON ini juga menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proyek-proyek publik yang besar. Menurut Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, ahli hukum, keterlambatan penyelesaian infrastruktur dapat dikategorikan sebagai "kelalaian administratif" yang seharusnya bisa dicegah melalui regulasi yang lebih ketat dan sanksi yang jelas bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Secara politis, penyelenggaraan PON menjadi simbol keberpihakan pemerintah kepada pembangunan daerah. James C. Scott, seorang antropolog politik, mengkritik bahwa sering kali agenda-agenda besar seperti ini digunakan sebagai alat politik untuk meningkatkan citra daerah atau pemerintah pusat, namun dengan mengorbankan kualitas pelaksanaannya. Jika permasalahan PON ini terus berlarut-larut, kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat tergerus.
Keberpihakan dan Harapan
Masyarakat (melalui puisi ini) jelas menuntut keberpihakan yang lebih besar dari pemerintah kepada atlet dan masyarakat. PON adalah kesempatan untuk merayakan semangat sportivitas, namun jika diselimuti oleh masalah, semangat itu justru bisa hilang. Pemerintah harus berpihak pada kepentingan publik dengan menyiapkan infrastruktur yang memadai, mengelola anggaran secara transparan, dan memprioritaskan kebutuhan atlet serta masyarakat.
Ke depan, harapannya PON bisa menjadi ajang yang tidak hanya melahirkan prestasi, tetapi juga memupuk rasa keadilan sosial. Pemerintah diharapkan dapat belajar dari pengalaman ini dan memberikan perhatian lebih besar pada detil teknis dan logistik, sehingga pelaksanaan PON bisa lebih baik dan sportivitas para atlet tidak ternodai oleh masalah non-teknis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H