Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ironi Pekan Olahraga Nasional 2024

23 September 2024   17:31 Diperbarui: 23 September 2024   17:46 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

IRONI PEKAN OLAHRAGA NASIONAL 2024

Saya hendak mengawali karut marut pelaksanaan PON 2024 di Sumatera Utara dan Aceh dengan sebuah puisi yang terasa pahit berikut ini:

KOPI PAHIT PON 2024

Pada cangkir pagi, kuhirup pahit,
Di tengah riuh Aceh-Sumut bersolek,
PON yang seharusnya manis tersaji,
Tersandung masalah, janji rapuh terurai,
Atlet berpeluh, mimpi tercemar abu-abu,
Di manakah gairah sportivitas yang dulu?

Panggung olahraga jadi ajang cela,
Fasilitas reot, persiapan tak sempurna,
Pemerintah lupa, janji harus ditegak,
Bukan hanya podium, tapi rasa hormat,
Pada tiap kaki yang melangkah tegar,
Perlu asa, perlu tindakan nyata segera.

Harapan esok tak sehitam hari ini,
PON harus kembali jadi wajah negeri,
Dimana prestasi melahirkan mimpi baru,
Pemerintah, bangkitlah dari kelalaian lalu,
Sediakan ruang bagi mereka yang berjuang,
Agar semangat tetap menyala, tak pernah padam.

(pemain yang memukul wasif, bola.okezone.com)
(pemain yang memukul wasif, bola.okezone.com)

Karut marut pelaksaan PON yang paling kasat mata adalah ketika berlangsung pertandingan sepak bola putra antara Aceh vs Sulewesi Tengah. Ada kejadian memalukan salah satu pemain dari Sulawesi memukul wasif hingga terkapar dan membutuhkan penanganan medis. Kejadian ini bermula dari kepemimpinan wasit yang tidak tegas dan cenderung tidak adil. Kejadian yang seharusnya bukan pinalti, oleh wasit dihukum pinalti. Bahkan sampai dua kali sehingga menyebabkan para pemain Sulteng melakukan WO. Saya mengungkapkan kegundahan itu melalui puisi di atas dan mencoba menjelaskannya seperti di bawah ini.

Puisi di atas menggambarkan kekecewaan dan kritik terhadap pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) Aceh-Sumut 2024. Sungguh sebuah ironi dari ajang olahraga yang seharusnya menggembirakan dan penuh prestasi, namun diwarnai dengan ketidaksiapan, ketidakjujuran, dan kekecewaan terhadap janji-janji yang tidak ditepati.

Kita lihat pada bait pertama berupa gambaran tentang harapan yang dirusak oleh berbagai permasalahan yang timbul, seperti infrastruktur yang belum selesai dan janji yang tidak dipenuhi. Ini menimbulkan kekecewaan tidak hanya bagi atlet, tapi juga bagi masyarakat luas yang seharusnya menikmati semangat sportivitas. Bait kedua menyoroti betapa lemahnya pengelolaan dan kesiapan pemerintah dalam memastikan ajang olahraga ini berjalan lancar, sementara bait ketiga berisi harapan akan adanya perbaikan di masa depan.

Tiga Tinjauan Yang Menyertainya

Dari perspektif psikologis, puisi ini mencerminkan frustrasi dan rasa tidak berdaya yang mungkin dirasakan oleh para atlet dan masyarakat. Ajang seperti PON adalah kesempatan penting bagi atlet untuk bersinar, namun ketika persiapan dan fasilitas tidak mendukung, hal ini bisa menimbulkan rasa kecewa dan kehilangan motivasi.

Menurut Abraham Maslow dalam teori hierarki kebutuhannya, atlet-atlet ini memiliki kebutuhan untuk dihargai dan merasa bahwa mereka bertanding di lingkungan yang adil dan kondusif. Jika kondisi seperti yang tergambar dalam puisi terjadi, kebutuhan mereka akan penghargaan dan aktualisasi diri tidak akan terpenuhi, yang dapat menurunkan kinerja serta rasa percaya diri mereka.

Pakar psikologi olahraga, seperti Robert Weinberg, menyatakan bahwa kesiapan mental atlet sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan dukungan yang mereka terima. Ketika lingkungan bertanding tidak ideal, hal ini dapat mengganggu fokus dan performa atlet, serta memperburuk kesehatan mental mereka. Ini mengindikasikan betapa pentingnya persiapan yang matang agar sportivitas dan mentalitas juara tetap terjaga.

Dari sudut pandang sosiologis, puisi ini menyoroti ketimpangan sosial yang terjadi dalam penyelenggaraan acara besar seperti PON. Fasilitas yang tidak memadai, pengelolaan anggaran yang buruk, dan minimnya perhatian dari pemerintah mencerminkan ketidakadilan sosial yang seringkali terjadi dalam berbagai proyek besar.

Pierre Bourdieu, seorang sosiolog ternama, dalam konsepnya tentang "modal sosial" menyatakan bahwa ketidakmerataan distribusi modal ekonomi, sosial, dan budaya dapat memperparah ketimpangan di masyarakat. Dalam konteks PON, para atlet, yang mewakili kelompok dengan modal sosial (prestasi, bakat), sering kali terpinggirkan oleh kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang lebih besar.

Selain itu, Emile Durkheim menyebutkan pentingnya "kesadaran kolektif" dalam masyarakat yang dapat tercipta melalui acara nasional seperti PON. Namun, jika acara ini gagal memenuhi harapan, maka ia justru bisa memecah solidaritas sosial dan memperkuat sikap apatis masyarakat terhadap pemerintah dan instansi yang bertanggung jawab.

Dari aspek hukum, ketidaksiapan dalam penyelenggaraan PON mengarah pada pelanggaran administrasi dan pengelolaan dana yang tidak transparan, yang seharusnya diawasi ketat oleh lembaga negara terkait. Pemerintah dan penyelenggara seharusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional, yang menekankan pentingnya penyelenggaraan ajang olahraga yang profesional dan berintegritas.

Permasalahan anggaran dan infrastruktur dalam PON ini juga menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap proyek-proyek publik yang besar. Menurut Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, ahli hukum, keterlambatan penyelesaian infrastruktur dapat dikategorikan sebagai "kelalaian administratif" yang seharusnya bisa dicegah melalui regulasi yang lebih ketat dan sanksi yang jelas bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Secara politis, penyelenggaraan PON menjadi simbol keberpihakan pemerintah kepada pembangunan daerah. James C. Scott, seorang antropolog politik, mengkritik bahwa sering kali agenda-agenda besar seperti ini digunakan sebagai alat politik untuk meningkatkan citra daerah atau pemerintah pusat, namun dengan mengorbankan kualitas pelaksanaannya. Jika permasalahan PON ini terus berlarut-larut, kepercayaan publik terhadap pemerintah dapat tergerus.

Keberpihakan dan Harapan

Masyarakat (melalui puisi ini) jelas menuntut keberpihakan yang lebih besar dari pemerintah kepada atlet dan masyarakat. PON adalah kesempatan untuk merayakan semangat sportivitas, namun jika diselimuti oleh masalah, semangat itu justru bisa hilang. Pemerintah harus berpihak pada kepentingan publik dengan menyiapkan infrastruktur yang memadai, mengelola anggaran secara transparan, dan memprioritaskan kebutuhan atlet serta masyarakat.

Ke depan, harapannya PON bisa menjadi ajang yang tidak hanya melahirkan prestasi, tetapi juga memupuk rasa keadilan sosial. Pemerintah diharapkan dapat belajar dari pengalaman ini dan memberikan perhatian lebih besar pada detil teknis dan logistik, sehingga pelaksanaan PON bisa lebih baik dan sportivitas para atlet tidak ternodai oleh masalah non-teknis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun