Budi mencoba berlari, namun kakinya terasa berat. Wajahnya yang tertinggal di cermin melambaikan tangan sebelum menghilang di balik permukaan kaca. Dalam ketakutan, Budi tersadar bahwa dirinya kini terperangkap di dalam cermin, menggantikan pantulannya sendiri. Ia menatap kosong keluar, melihat tubuhnya yang kini bebas berjalan pergi, meninggalkan perpustakaan dengan senyuman yang tak wajar.
Dan begitulah seterusnya, wajah-wajah yang pernah bercermin di cermin tua itu akan keluar, mengambil alih tubuh mereka yang hidup, sementara jiwa mereka terperangkap di dalam cermin untuk selama-lamanya. Setiap kali ada tubuh yang tertidur di perpustakaan, sebenarnya, bukan tubuh itu yang mati, melainkan jiwanya yang tak pernah kembali.
Cermin itu tak akan pernah berhenti. Setiap wajah yang tertinggal akan selalu mencari tubuh baru, dan siklus ini akan terus berulang, tanpa ada yang pernah benar-benar menyadarinya. Apalagi ini September, saban malam kisah korban kian banyak seperti refrein Pancasila Sakti yang terus diulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H