Cermin di Bulan September
Di sudut perpustakaan kota, sebuah cermin besar berdiri kokoh, tergantung di dinding, menghadap rak-rak penuh buku yang berjajar rapi. Cermin tua itu telah ada di sana selama puluhan tahun, lebih lama dari usia perpustakaan itu sendiri. Tidak ada yang tahu dari mana asalnya, namun konon, cermin itu menyimpan lebih dari sekadar pantulan. Beberapa pengunjung menyadari sesuatu yang aneh ketika mereka bercermin. Wajah mereka terlihat sedikit berbeda - seolah ada bayangan lain yang mengikuti di belakang.
Di malam-malam tertentu, wajah-wajah yang pernah tercermin pada permukaannya akan keluar, bergerak diam-diam di antara rak-rak buku, menjelajahi setiap sudut perpustakaan. Mereka tak bersuara, tapi keberadaan mereka terasa. Ada desis angin yang tak seharusnya ada di dalam ruangan tertutup, dan buku-buku terkadang jatuh sendiri dari raknya. Para penjaga malam sesekali melaporkan kejadian-kejadian aneh, namun semuanya menguap tanpa jawaban pasti.
Suatu malam, Dimas, seorang mahasiswa yang sering menghabiskan waktu belajar di perpustakaan, duduk di meja paling ujung. Matahari sudah lama tenggelam, dan kesunyian malam membungkus seluruh perpustakaan. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, tapi Dimas masih sibuk menatap layar laptopnya. Sesekali, ia melihat pantulan dirinya di cermin tua itu, meski ia merasa ada yang berbeda. Namun, pikirannya terlalu lelah untuk memperhatikan lebih jauh.
Ketika malam semakin larut, Dimas merasa kelopak matanya berat. Dalam sekejap, ia tertidur di atas buku-buku dan laptopnya. Di tengah mimpi-mimpinya yang aneh, ia mendengar suara pelan, seolah seseorang memanggil namanya dari dalam cermin. Tapi ketika ia membuka matanya sedikit, tidak ada siapa pun. Ia terlalu lelah untuk peduli dan tertidur lagi.
Sementara itu, di cermin, wajah Dimas tetap terpaku. Meski tubuhnya terlelap di meja, pantulannya bergerak perlahan, keluar dari permukaan cermin, bergabung dengan wajah-wajah lainnya yang kini bebas berkeliaran di perpustakaan.
Pagi harinya, perpustakaan gempar. Dimas ditemukan tidak bernyawa di mejanya. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, tidak ada luka, hanya wajahnya yang tampak tenang, seolah tertidur untuk selamanya. Kabar kematiannya dengan cepat menyebar ke kampus. Namun, yang lebih mengejutkan, berita duka lain muncul tak lama setelah itu. Seorang dosen bernama Pak Arman, yang dikenal dekat dengan Dimas, ditemukan tewas di rumahnya pada waktu yang hampir bersamaan. Keduanya meninggal di malam yang sama, tanpa sebab yang jelas.
Ini bukan pertama kalinya hal semacam ini terjadi. Setiap kali ada yang tertidur di meja di ujung perpustakaan, selalu ada berita duka yang menyusul dari kampus. Namun, satu hal selalu konsisten: mereka yang meninggal adalah orang-orang yang pernah bercermin di cermin tua itu.
Hari demi hari berlalu, dan misteri itu tetap tak terpecahkan. Hingga suatu malam, seorang petugas perpustakaan, Budi, memutuskan untuk memecahkan teka-teki ini. Ia mulai memperhatikan cermin tua itu, mencoba mencari tahu rahasianya. Budi mengamati bahwa setiap kali ada yang bercermin, pantulan wajah orang itu tampak menatap lebih lama dari yang seharusnya, seolah tidak ingin kembali ke tempatnya semula.
Dengan tekad yang bulat, Budi memutuskan untuk menunggu malam tiba. Ia duduk di depan cermin, menatap dalam-dalam pantulannya sendiri. Semakin lama ia memandang, semakin nyata perasaan aneh yang merasukinya. Pantulannya perlahan mulai bergerak sendiri, meski tubuhnya tetap diam. Dengan ngeri, Budi menyadari bahwa wajahnya di cermin tersenyum sinis sebelum akhirnya melangkah keluar dari cermin dan menyatu dengan kegelapan perpustakaan.
Budi mencoba berlari, namun kakinya terasa berat. Wajahnya yang tertinggal di cermin melambaikan tangan sebelum menghilang di balik permukaan kaca. Dalam ketakutan, Budi tersadar bahwa dirinya kini terperangkap di dalam cermin, menggantikan pantulannya sendiri. Ia menatap kosong keluar, melihat tubuhnya yang kini bebas berjalan pergi, meninggalkan perpustakaan dengan senyuman yang tak wajar.
Dan begitulah seterusnya, wajah-wajah yang pernah bercermin di cermin tua itu akan keluar, mengambil alih tubuh mereka yang hidup, sementara jiwa mereka terperangkap di dalam cermin untuk selama-lamanya. Setiap kali ada tubuh yang tertidur di perpustakaan, sebenarnya, bukan tubuh itu yang mati, melainkan jiwanya yang tak pernah kembali.
Cermin itu tak akan pernah berhenti. Setiap wajah yang tertinggal akan selalu mencari tubuh baru, dan siklus ini akan terus berulang, tanpa ada yang pernah benar-benar menyadarinya. Apalagi ini September, saban malam kisah korban kian banyak seperti refrein Pancasila Sakti yang terus diulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H