Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelusuri 'Yang Ilahi' dalam Ritual Rai Fohon

23 September 2024   08:39 Diperbarui: 25 September 2024   23:10 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan di bawah ini merupakan hasil pelatihan beberapa waktu lalu bersama mahasiswa Flobamorata USD Yogyakarta. Dari dua puluhan naskah yang masuk dipilih tiga terbaik. Dan akan dimuat dalam kompasiana ini dan beberapa media online lainnya

Sebuah Pengantar

Manusia dalam memahami Tuhan sering kali dimulai dari tradisi dan kebudayaan lokal yang diwariskan turun-temurun. Kebudayaan lokal menawarkan berbagai bentuk ritual sebagai ungkapan rasa syukur atas kebaikan Sang Ilahi, dan setiap budaya di Indonesia memiliki cerita serta kekhasannya sendiri dalam setiap ritual.

Pemikir Mircea Eliade menyebut bahwa kehidupan dapat diubah melalui pengalaman "sakramental," (Mircea Eliade 1970: 195) di mana simbol-simbol menjadi pintu menuju kehidupan spiritual yang sejati. Warisan agama rakyat, yang telah berlangsung sejak lama, merupakan bentuk kehidupan spiritual yang sangat kuat dan dirasakan oleh manusia, bahkan melampaui ingatan sejarah manusia itu sendiri.

Ritual dalam kebudayaan sering kali menyimpan makna yang mendalam dan tidak selalu mudah dipahami oleh nalar. Salah satu ritual yang menarik perhatian Anda, Rai Fohon, merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Belu, khususnya Suku Matabesi di Atambua, sebagai bentuk syukur atas panen yang melimpah. 

Dari bahasa Tetum, Rai berarti tanah dan Fohon berarti bukit atau tanah tinggi, yang secara keseluruhan mengacu pada tradisi makan hasil panen baru. 

Dalam ritual ini, mereka mempersembahkan hasil alam kepada Yang Ilahi sebagai ungkapan terima kasih atas perlindungan dan berkah selama proses bercocok-tanam selama setahun.

Menariknya, ritual ini tidak hanya sekadar tindakan simbolis, tetapi juga mengandung aspek komunal yang kuat, mengikat masyarakat dalam kebersamaan dan hubungan yang erat dengan alam dan Sang Pencipta. 

Menurut Eliade, ketika manusia berjumpa dengan yang sakral, mereka merasakan kehadiran suatu kekuatan yang berasal dari dunia seberang, sebuah realitas yang berbeda dari yang mereka kenal sehari-hari - sebuah dimensi keberadaan yang kuat, nyata, dan bertahan lama.

Dalam ritual Rai Fohon, pengalaman ekstasi yang dialami oleh para peserta mencerminkan tahap akhir dari sebuah proses mistik yang mendalam. Ekstasi, yang diartikan sebagai rasa menyatu dengan Sang Ilahi, adalah pengalaman spiritual yang intens di mana jiwa manusia tampak terlarut dalam kehadiran Tuhan, Sang Sumber Kehidupan. 

Pada tahap ini, manusia merasakan hubungan yang sangat intim dengan Sang Khalik, sebuah perasaan yang melampaui batas-batas fisik dan rasionalitas. Jiwa manusia tenggelam dalam kesatuan yang suci, mengalami kebahagiaan dan kepuasan yang mendalam.

Pengalaman ekstasi ini dalam konteks Rai Fohon tidak hanya bersifat personal, tetapi juga komunal, karena melibatkan masyarakat dalam rasa syukur bersama atas hasil panen. Kebahagiaan ini menjadi motivasi untuk terus mengembangkan iman dan cinta kepada Yang Ilahi, diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui penghargaan terhadap alam dan sesama.

Makna ritual ini lebih dari sekadar tindakan seremonial; ia merupakan pengingat bagi manusia akan pentingnya hubungan harmonis dengan alam dan Sang Pencipta. 

Dalam konteks syukur atas panen, kebahagiaan yang dirasakan bukan hanya karena berkat materi, tetapi juga karena pengalaman spiritual yang menguatkan iman. Ini adalah momen transendental di mana manusia merasakan kehadiran Tuhan yang nyata, yang membawa mereka lebih dekat kepada-Nya, memotivasi untuk terus hidup dalam cinta, syukur, dan kebahagiaan.

(diambil dari: nttonlinenow.com)
(diambil dari: nttonlinenow.com)

Antara Ritual dan Yang Ilahi

Para penganut agama dan kaum spiritualis yang berakar dalam tradisi kebudayaan lokal memiliki kesadaran bersama yang mendalam akan identitas komunal yang terwujud dalam ibadah, ritus, dan praktik spiritual mereka. Identitas ini tidak hanya ditentukan oleh adat dan tradisi yang diwariskan turun-temurun, tetapi juga oleh keyakinan akan campur tangan Yang Transenden -kekuatan ilahi atau spiritual- dalam menjaga dan memelihara kehidupan manusia.

Dalam konteks ini, kepercayaan kepada Yang Transenden tidak hanya menjadi landasan iman individual, tetapi juga menjadi landasan kolektif yang menyatukan komunitas. 

Setiap ritus atau ibadah tidak hanya menjadi sarana untuk mencari keselamatan pribadi, tetapi juga menjadi wujud kebersamaan dalam mengakui peran penting kekuatan spiritual dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal kelangsungan hidup dan keberkahan alam. Hal ini tercermin dalam ritual-ritual seperti Rai Fohon di mana aspek komunal dan hubungan dengan alam menjadi pusat dari praktik spiritual mereka.

Dengan demikian, agama kebudayaan lokal berfungsi sebagai jembatan antara manusia dengan alam semesta serta dengan kekuatan ilahi. Ibadah dan ritual bersama memperkuat identitas kolektif, di mana kesadaran akan kehadiran Yang Transenden menjadi dasar bagi kelangsungan hidup, kesuburan, dan kesejahteraan, serta memberi makna lebih dalam pada eksistensi manusia di dalam alam dan komunitasnya.

Agama dan spiritualisme yang tumbuh dari budaya lokal memiliki peran unik dan khas yang tak hanya bersifat religius, tetapi juga berfungsi sosial dan kultural bagi komunitas yang menghayatinya. 

Dalam konteks ini, agama lokal sering kali menghadirkan pengalaman yang berakar pada tradisi dan praktik yang berbeda dengan agama-agama mayor, yang menimbulkan pertanyaan tentang relevansi dan signifikansi ritual-ritual tersebut di dunia modern. 

Salah satu tantangan utama bagi agama-agama lokal adalah bagaimana mereka dapat menghadapi absurditas atau ketidakjelasan yang sering kali dianggap mengiringi ritual-ritual yang tidak selalu selaras dengan nilai-nilai agama mayor.

Namun, terlepas dari perbedaan ini, ritual-ritual budaya lokal sering memiliki kontribusi yang signifikan dalam membangun relasi yang lebih mendalam dengan Sang Ilahi serta memperbaiki kualitas hidup masyarakat. 

Ritual-ritual seperti Rai Fohon, yang melibatkan persembahan hasil panen sebagai ungkapan syukur kepada Yang Ilahi, tidak hanya memiliki fungsi spiritual, tetapi juga sosial, dengan mempererat ikatan komunitas dan memperkuat hubungan dengan alam.

Peperangan batin yang terjadi di kalangan individu yang menjalani ritual-ritual ini sering muncul dari ketegangan antara dunia profane - yang bersifat duniawi, tidak teratur, dan sering kacau - dan dunia sakral yang dianggap sebagai manifestasi dari Yang Kudus atau hierophani. 

Menurut Mircea Eliade dalam (Heru 2016: 14), hierophani adalah momen di mana Yang Sakral menampakkan diri dalam dunia yang tidak sempurna ini, membawa keteraturan dan makna di tengah kekacauan manusiawi. 

Ritual-ritual tersebut, meskipun terkadang dianggap sebagai "absurditas" oleh pandangan luar, sebenarnya adalah upaya untuk menghadirkan kembali keteraturan dan kesempurnaan ilahi di tengah perubahan dan ketidakpastian dunia profan.

Dengan demikian, peran agama dan spiritualisme lokal tidak hanya dalam membangun relasi vertikal dengan Yang Transenden, tetapi juga dalam memberikan makna dan keteraturan bagi kehidupan manusia di dunia yang sering kali penuh dengan ketidakpastian. Ritual-ritual yang dilakukan bukan sekadar tindakan simbolis, tetapi sarana untuk menghadirkan kembali kehadiran ilahi yang membawa keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan manusia yang terus berubah.

Ritual Rai Fohon merupakan salah satu wujud dari tradisi lokal yang menggambarkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam ritual ini, alam tidak hanya dilihat sebagai sekadar sumber daya untuk kelangsungan hidup manusia, tetapi juga sebagai perwujudan dari kekuatan ilahi, sebuah simbol dari Tuhan yang memberikan kehidupan. Konsep ini mencerminkan pandangan kosmologis yang mendalam, di mana alam dilihat sebagai entitas yang sakral, "ibu" yang melahirkan dan memelihara kehidupan.

Melalui persembahan hasil panen dalam Rai Fohon, masyarakat Suku Matabesi di Belu, Atambua, menunjukkan rasa syukur mereka atas keberlimpahan yang telah mereka terima selama masa bercocok tanam. 

Tidak hanya berupa ungkapan syukur atas hasil panen secara fisik, tetapi juga sebagai permohonan perlindungan dan berkah agar panen di masa mendatang tetap berhasil dan terhindar dari kegagalan. Ritual ini merupakan sebuah pengakuan kolektif bahwa kehidupan manusia sangat bergantung pada harmoni dengan alam dan bahwa Tuhan---melalui alam---adalah sumber dari segala kehidupan dan berkah.

Nilai kosmologis yang terkandung dalam ritual Rai Fohon juga mencerminkan keyakinan bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya diukur dari hasil panen yang melimpah secara materi, tetapi juga dari hubungan spiritual yang lebih dalam antara manusia, alam, dan Tuhan. 

Dengan berkumpul di rumah adat untuk melakukan ritual bersama, masyarakat tidak hanya memperkuat hubungan spiritual individu dengan Sang Ilahi, tetapi juga memperkuat ikatan komunal di antara mereka. Mereka percaya bahwa Tuhan akan terus melindungi dan memberikan berkah selama mereka menjaga keseimbangan dan hubungan yang baik dengan alam.

Dalam konteks ini, ritual Rai Fohon menekankan pentingnya sikap hormat terhadap alam dan Tuhan, serta nilai komunal yang kuat dalam kehidupan masyarakat. Ritual ini mengajarkan bahwa keseimbangan kosmos harus dijaga agar manusia dapat terus menikmati berkah dan kebahagiaan, tidak hanya dari segi materi, tetapi juga secara spiritual.

Pendapat tersebut menegaskan bahwa, alam menjadi sentral kekuatan yang memberikan berbagai peluang dan realitas bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Hal ini memberikan isyarat bahwa, manusia wajib memiliki hubungan yang baik dengan alam. Keterbatasan manusia terkadang memerlukan sebuah kemungkinan dalam hidup. Kemungkianan tersebut dapat diperoleh ketika manusia mampu menyamakan frekuensi dengan alam itu sendiri. (Ida Bagus & I Made 2021). 

Manusia membuat ritual bukan pertama-tama merasa dekat dengan Yang Ilahi melainkan seolah-olah membuat jarak dengan Yang Kudus dan diperlakukan khusus. Membuatnya seolah hadir dalam suatu misteri yang mengagumkan (fascinosum) sampai menggetarkan (tremendum). (Heru 2016: 14)

Ritual dibuat manusia karena di balik layar kehidupan ada kematian yang ditakuti. Dalam keyakinan lokal orang-orang percaya mula-mula menemukan narasi yang didorong secara teologis tentang kehidupan: "Kami tidak tahu apa alasannya dan apa pengaruhnya masyarakat luas menafsirkan hidupnya sebagai persiapan kematiannya dan melihat dalam kematian itu suatu peristiwa supernatural sebagai persiapan kebangkitannya." Dalam hal ini ritual dibuat dalam keyakinan menaklukan penderitaan (kematian) demi memperoleh hidup yang baru. (Martyn Smith 2008: 8). 

Ini merupakan salah satu cara untuk memahami istilah seperti "sacred space" tempat yang membangkitkan berbagai pengalaman emosional, terlepas dari hubungan narasi apa pun. Meski yang Ilahi memiliki dimensi Imanen, tetapi bagaimanapun pengalaman manusia akan situasi yang berjarak tetap bersifat eksistensial. 

Kita biasanya menuntut sejumlah kesinambungan dalam pernyataan ini tentang suatu tempat sebagai "suci" dengan koneksinya dengan "dunia", dan unsur-unsur ingatan yang menghalangi dan mempertimbangkan yakni sisi kekotoran ditempatkan dalam dunia "suci" atau "luhur" dalam arti permanen potensi harapan demi mencapai keselamatan.

Pandangan demikian mengekspresikan kepatuhan masyarakat pada norma-norma yang dibangun atas dasar kepercayaan animisme dan mereka terima sebagai warisan dari leluhur yang bernilai positif. 

Dalam kultur keyakinan sejauh bahasa ritual dipahami sebagai kapasitas yang diberikan individu tertentu untuk memberikan suara atas tangapann publik terhadap ucapan budaya tertentu dapat memberikan penafsiran yang kaya akan ritual tersebut dengan daya magisnya sendiri. Aktivitas komposisi antara ragawi dengan Yang Ilahi itu sendiri menjadi lebih dari sekadar tindakan individual melainkan komunal. (James 1988: 17) 

Ritual adat Rai Fohon menjadi kebiasaan kolektif perasaan masyarakat lokal Atambua dalam mencita-citakan sesuatu yang baik. Selain roh-roh yang dianggap sebagai peserta dalam situasi ritual, hampir selalu ada ketua adat sebagai pemain utama.

Orang-orang beragama mengklaim bahwa kekuatan nyata di balik alam bukanlah prinsip sama sekali; mereka adalah kepribadian, makhluk gaib yang kita sebut para dewa. 

Oleh karena itu, ketika orang yang benar-benar religius ingin mengendalikan atau mengubah keadaan alam, mereka biasanya tidak menggunakan mantra magis melainkan doa dan permohonan yang ditujukan kepada dewa atau dewi favorit mereka. 

Hal ini mengandaikan ritual agar Yang Ilahi itu dapat mengerti apa yang menjadi maksud manusia. Membuat ritual seolah-olah manusia sedang berurusan dengan "sosok yang lain" yang mempunyai kuasa, mereka meminta bantuan, memohon bantuan, menyerukan balas dendam, dan mengucapkan sumpah cinta, kesetiaan, atau ketaatan kepada Dia yang memiliki kuasa atas bumi.

(diambil dari: nttonlinenow.com)
(diambil dari: nttonlinenow.com)

Menjadi Pribadi yang Sakral

 Kesakralan manusia memang lebih dari sekadar tindakan lahiriah atau ritual formal. Kesakralan sejati berasal dari bagaimana seseorang memelihara dan mengolah disposisi batinnya dalam hubungannya dengan Yang Ilahi. 

Ritual, seperti Rai Fohon, memang memiliki nilai spiritual yang mendalam, namun yang lebih penting adalah bagaimana setiap individu dapat memaknai dan menghidupi pesan yang terkandung dalam ritual tersebut. Dalam konteks ini, ritual berfungsi sebagai cermin yang memantulkan iman pribadi dan mengajak manusia untuk merenungkan kesakralan yang ada dalam dirinya sendiri.

Seperti yang diungkapkan dalam pernyataan, "jiwa manusia merupakan ruang kudus," berarti manusia memiliki kemampuan untuk berjumpa dengan Tuhan di dalam batinnya, bukan hanya melalui ritual eksternal. Yang Ilahi tidak terbatas pada upacara-upacara formal atau tempat-tempat suci, tetapi hadir di mana pun manusia membuka ruang dalam dirinya untuk merenung, bertindak dengan kasih, dan membangun hubungan yang mendalam dengan Tuhan.

Ritual seperti Rai Fohon dapat menjadi sarana bagi manusia untuk kembali ke pusat spiritualitasnya - untuk menyadari bahwa relasi dengan Tuhan adalah pengalaman yang terjadi setiap saat, dalam segala aspek kehidupan. Kesakralan ini dapat diwujudkan dalam tindakan sehari-hari yang penuh rasa syukur, kepedulian, cinta kasih, serta pengakuan akan kehadiran Yang Ilahi dalam setiap langkah kehidupan. Di sinilah letak dimensi spiritual yang lebih dalam: di mana manusia tidak hanya menjadi sakral saat ia menjalankan ritual, tetapi saat ia menjalani hidupnya sebagai refleksi dari iman dan cintanya kepada Tuhan dan alam semesta.

Dengan demikian, makna dari Rai Fohon tidak hanya sebatas perayaan syukur atas panen, tetapi juga pengingat bahwa setiap aktivitas manusia -dari yang sederhana hingga yang monumental- dapat menjadi wujud kesakralan dan ibadah kepada Yang Ilahi.

Kesakralan ritual di samping menyimpan ketakutan akan Yang Ilahi untuk menunjuk pada pengalaman khas kepercayaan lokal yang mengalami realitas adi-duniawi sebagai mysterium tremendum dan fascinans, sebagai rahasia yang membuat manusia sekaligus bergetar dan terpesona, yang sekaligus menakutkan dan mengasyikan. Dalam keyakinan personal Yang Ilahi bukan sesuatu yang dipikirkan, sebuah teori, melainkan dialami dalam realitas indrawi. (Frans M. Suseno 2006:29)

Ditelisik lebih jauh, Tuhan personal tidak mungkin dimanipulasi melalui segala mantra dan kelompok-kelompok doa lainnya, tetapi manusia dapat berdoa kepada-Nya, dalam keyakinan bahwa Ia mendengarkannya. Hubungan antara Tuhan dan manusia bersifat dialogal, manusia memang makhluk otonom tapi sekaligus teonom artinya seluruh eksistensi manusia bergantung pada-Nya. Sehingga melahirkan sikap paling mendalam yang diharapkan dari manusia adalah penyerahan dalam cinta penuh dengan hormat dalam bentuk Ritual Rai Fohon. (Frans M Suseno 2006: 42)

Kesimpulan

Ritual Rai Fohon bukan sekadar ritual tradisional, tetapi merupakan manifestasi mendalam dari hubungan manusia dengan Yang Ilahi, alam, dan sesama. Ritual ini mencerminkan rasa syukur atas berkat alam, sekaligus memperkuat relasi komunal dan spiritual masyarakat. 

Kesakralan yang terkandung dalam ritual ini tidak hanya hadir melalui tindakan formal, tetapi juga dalam pengalaman batin dan relasi intim dengan Tuhan. Ritual ini menggambarkan perpaduan harmoni antara manusia dan alam, di mana manusia menemukan kebahagiaan dan kedekatan dengan Yang Ilahi dalam segala aspek kehidupan, sekaligus mengajarkan pentingnya penyerahan diri dalam cinta dan hormat kepada Tuhan.        

Oleh: Stefanus Epifani Aliuk (Mahasiswa Universitas Sanata Dharma)

Editor: Alfred B. Jogo Ena

Sumber Bacaan

Eliade, Mircea (1970). The Reality of the Sacred, Journal III: 1970--19781, diambil dari bahan kuliah: Paham Ketuhanan, di Universitas Sanata Dharma, tahun ajaran 2021/2022.

Fox, James J, (1988). To Speak In Pairs Essays On The Ritual Languages Of Eastern Indonesia, USA, Cambridge University Press.

Ida Bagus Made Satya Wira Dananjaya & I Made DanuTirta, Peran Inklusivisme Agama Dalam Ekofenomenologi, Prosiding Webinar Nasional IAHN-TP Palangka Raya, No.2 Tahun 2021, Diakses dari https://prosiding.iahntp.ac.id/index.php/seminar-nasional/article/view/83/75.

Prakosa, Heru (2016). Sacred Space Wilayah Pemaknaan Proses Meng-Ada, Majalah Basis, Nomor 05-06,tahun ke-65.

Smith, Martyn, (2008). Religion, Culture, and Sacred Space, Palgrave Macmillan, United States.

Suseno, Frans Magnis, (2006). Menalar tuhan, Kanisius, Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun