Hal ini mengandaikan ritual agar Yang Ilahi itu dapat mengerti apa yang menjadi maksud manusia. Membuat ritual seolah-olah manusia sedang berurusan dengan "sosok yang lain" yang mempunyai kuasa, mereka meminta bantuan, memohon bantuan, menyerukan balas dendam, dan mengucapkan sumpah cinta, kesetiaan, atau ketaatan kepada Dia yang memiliki kuasa atas bumi.
Menjadi Pribadi yang Sakral
 Kesakralan manusia memang lebih dari sekadar tindakan lahiriah atau ritual formal. Kesakralan sejati berasal dari bagaimana seseorang memelihara dan mengolah disposisi batinnya dalam hubungannya dengan Yang Ilahi.Â
Ritual, seperti Rai Fohon, memang memiliki nilai spiritual yang mendalam, namun yang lebih penting adalah bagaimana setiap individu dapat memaknai dan menghidupi pesan yang terkandung dalam ritual tersebut. Dalam konteks ini, ritual berfungsi sebagai cermin yang memantulkan iman pribadi dan mengajak manusia untuk merenungkan kesakralan yang ada dalam dirinya sendiri.
Seperti yang diungkapkan dalam pernyataan, "jiwa manusia merupakan ruang kudus," berarti manusia memiliki kemampuan untuk berjumpa dengan Tuhan di dalam batinnya, bukan hanya melalui ritual eksternal. Yang Ilahi tidak terbatas pada upacara-upacara formal atau tempat-tempat suci, tetapi hadir di mana pun manusia membuka ruang dalam dirinya untuk merenung, bertindak dengan kasih, dan membangun hubungan yang mendalam dengan Tuhan.
Ritual seperti Rai Fohon dapat menjadi sarana bagi manusia untuk kembali ke pusat spiritualitasnya - untuk menyadari bahwa relasi dengan Tuhan adalah pengalaman yang terjadi setiap saat, dalam segala aspek kehidupan. Kesakralan ini dapat diwujudkan dalam tindakan sehari-hari yang penuh rasa syukur, kepedulian, cinta kasih, serta pengakuan akan kehadiran Yang Ilahi dalam setiap langkah kehidupan. Di sinilah letak dimensi spiritual yang lebih dalam: di mana manusia tidak hanya menjadi sakral saat ia menjalankan ritual, tetapi saat ia menjalani hidupnya sebagai refleksi dari iman dan cintanya kepada Tuhan dan alam semesta.
Dengan demikian, makna dari Rai Fohon tidak hanya sebatas perayaan syukur atas panen, tetapi juga pengingat bahwa setiap aktivitas manusia -dari yang sederhana hingga yang monumental- dapat menjadi wujud kesakralan dan ibadah kepada Yang Ilahi.
Kesakralan ritual di samping menyimpan ketakutan akan Yang Ilahi untuk menunjuk pada pengalaman khas kepercayaan lokal yang mengalami realitas adi-duniawi sebagai mysterium tremendum dan fascinans, sebagai rahasia yang membuat manusia sekaligus bergetar dan terpesona, yang sekaligus menakutkan dan mengasyikan. Dalam keyakinan personal Yang Ilahi bukan sesuatu yang dipikirkan, sebuah teori, melainkan dialami dalam realitas indrawi. (Frans M. Suseno 2006:29)
Ditelisik lebih jauh, Tuhan personal tidak mungkin dimanipulasi melalui segala mantra dan kelompok-kelompok doa lainnya, tetapi manusia dapat berdoa kepada-Nya, dalam keyakinan bahwa Ia mendengarkannya. Hubungan antara Tuhan dan manusia bersifat dialogal, manusia memang makhluk otonom tapi sekaligus teonom artinya seluruh eksistensi manusia bergantung pada-Nya. Sehingga melahirkan sikap paling mendalam yang diharapkan dari manusia adalah penyerahan dalam cinta penuh dengan hormat dalam bentuk Ritual Rai Fohon. (Frans M Suseno 2006: 42)
Kesimpulan
Ritual Rai Fohon bukan sekadar ritual tradisional, tetapi merupakan manifestasi mendalam dari hubungan manusia dengan Yang Ilahi, alam, dan sesama. Ritual ini mencerminkan rasa syukur atas berkat alam, sekaligus memperkuat relasi komunal dan spiritual masyarakat.Â
Kesakralan yang terkandung dalam ritual ini tidak hanya hadir melalui tindakan formal, tetapi juga dalam pengalaman batin dan relasi intim dengan Tuhan. Ritual ini menggambarkan perpaduan harmoni antara manusia dan alam, di mana manusia menemukan kebahagiaan dan kedekatan dengan Yang Ilahi dalam segala aspek kehidupan, sekaligus mengajarkan pentingnya penyerahan diri dalam cinta dan hormat kepada Tuhan. Â Â Â Â