Namun, terlepas dari perbedaan ini, ritual-ritual budaya lokal sering memiliki kontribusi yang signifikan dalam membangun relasi yang lebih mendalam dengan Sang Ilahi serta memperbaiki kualitas hidup masyarakat.Â
Ritual-ritual seperti Rai Fohon, yang melibatkan persembahan hasil panen sebagai ungkapan syukur kepada Yang Ilahi, tidak hanya memiliki fungsi spiritual, tetapi juga sosial, dengan mempererat ikatan komunitas dan memperkuat hubungan dengan alam.
Peperangan batin yang terjadi di kalangan individu yang menjalani ritual-ritual ini sering muncul dari ketegangan antara dunia profane - yang bersifat duniawi, tidak teratur, dan sering kacau - dan dunia sakral yang dianggap sebagai manifestasi dari Yang Kudus atau hierophani.Â
Menurut Mircea Eliade dalam (Heru 2016: 14), hierophani adalah momen di mana Yang Sakral menampakkan diri dalam dunia yang tidak sempurna ini, membawa keteraturan dan makna di tengah kekacauan manusiawi.Â
Ritual-ritual tersebut, meskipun terkadang dianggap sebagai "absurditas" oleh pandangan luar, sebenarnya adalah upaya untuk menghadirkan kembali keteraturan dan kesempurnaan ilahi di tengah perubahan dan ketidakpastian dunia profan.
Dengan demikian, peran agama dan spiritualisme lokal tidak hanya dalam membangun relasi vertikal dengan Yang Transenden, tetapi juga dalam memberikan makna dan keteraturan bagi kehidupan manusia di dunia yang sering kali penuh dengan ketidakpastian. Ritual-ritual yang dilakukan bukan sekadar tindakan simbolis, tetapi sarana untuk menghadirkan kembali kehadiran ilahi yang membawa keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan manusia yang terus berubah.
Ritual Rai Fohon merupakan salah satu wujud dari tradisi lokal yang menggambarkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Dalam ritual ini, alam tidak hanya dilihat sebagai sekadar sumber daya untuk kelangsungan hidup manusia, tetapi juga sebagai perwujudan dari kekuatan ilahi, sebuah simbol dari Tuhan yang memberikan kehidupan. Konsep ini mencerminkan pandangan kosmologis yang mendalam, di mana alam dilihat sebagai entitas yang sakral, "ibu" yang melahirkan dan memelihara kehidupan.
Melalui persembahan hasil panen dalam Rai Fohon, masyarakat Suku Matabesi di Belu, Atambua, menunjukkan rasa syukur mereka atas keberlimpahan yang telah mereka terima selama masa bercocok tanam.Â
Tidak hanya berupa ungkapan syukur atas hasil panen secara fisik, tetapi juga sebagai permohonan perlindungan dan berkah agar panen di masa mendatang tetap berhasil dan terhindar dari kegagalan. Ritual ini merupakan sebuah pengakuan kolektif bahwa kehidupan manusia sangat bergantung pada harmoni dengan alam dan bahwa Tuhan---melalui alam---adalah sumber dari segala kehidupan dan berkah.
Nilai kosmologis yang terkandung dalam ritual Rai Fohon juga mencerminkan keyakinan bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya diukur dari hasil panen yang melimpah secara materi, tetapi juga dari hubungan spiritual yang lebih dalam antara manusia, alam, dan Tuhan.Â
Dengan berkumpul di rumah adat untuk melakukan ritual bersama, masyarakat tidak hanya memperkuat hubungan spiritual individu dengan Sang Ilahi, tetapi juga memperkuat ikatan komunal di antara mereka. Mereka percaya bahwa Tuhan akan terus melindungi dan memberikan berkah selama mereka menjaga keseimbangan dan hubungan yang baik dengan alam.