Jembatan yang Renggang
Pagi itu, Ardi menatap layar ponselnya sambil duduk di meja makan. Di sebelahnya, Andini, putrinya yang berusia 15 tahun, sibuk dengan laptopnya, mungkin sedang menyelesaikan tugas sekolah. Suasana di rumah mereka selalu sunyi sejak Andini beranjak remaja. Padahal, dulu, saat Andini masih kecil, mereka sering berbincang panjang lebar tentang segala hal - dari tokoh kartun favorit hingga impian Andini menjadi astronot. Kini, obrolan mereka hanya seputar hal-hal dasar, seperti "Sudah makan?" atau "Ada tugas?"
Ardi menyesap kopi hitamnya dan melirik Andini. Ia merasa asing dengan putrinya. Setiap kali mencoba berbicara, Andini tampak lebih tertarik dengan dunia maya yang ada di depannya. Sebagai orang tua, Ardi sadar ada jarak yang tumbuh di antara mereka, jarak yang sulit ia pahami dan semakin sulit ia jembatani.
"Apa kabar sekolah?" tanya Ardi pelan, mencoba memulai percakapan.
"Baik," jawab Andini tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. Jawabannya singkat, dan tidak ada tanda-tanda ia ingin melanjutkan percakapan.
Ardi merasa tidak berdaya. Ia merindukan masa-masa di mana Andini bercerita tentang hari-harinya di sekolah, teman-temannya, atau bahkan impian-impiannya. Kini, semuanya tampak berubah. Andini lebih banyak berinteraksi dengan dunia digital daripada dengan ayahnya sendiri.
Ardi pun ingat masa-masa ketika ia seumuran Andini. Hubungannya dengan ayahnya tidaklah selalu mulus. Sang ayah tegas dan mendidiknya dengan aturan yang ketat. "Kamu harus begini," dan "Kamu harus begitu." Dulu, Ardi sering merasa tertekan, tapi sekarang ia mengerti bahwa semua itu adalah bentuk cinta dari ayahnya. Kini, sebagai seorang ayah, ia ingin memberikan kebebasan lebih pada Andini, tidak ingin mengulang pola asuh yang sama. Namun, kebebasan itu justru menciptakan jarak yang tak terduga.
Malam harinya, setelah makan malam yang juga sunyi, Ardi duduk di ruang tamu bersama istrinya, Rina.
"Aku merasa Andini makin jauh, Rin. Aku tidak tahu bagaimana caranya mendekat lagi," ujar Ardi dengan nada frustrasi.
Rina tersenyum lembut. "Itu mungkin karena Andini sedang mencari identitas dirinya sendiri. Usia remaja memang penuh gejolak. Tapi aku yakin, dia tetap membutuhkan kita, meskipun caranya berbeda."