Ardi mengangguk, meski dalam hatinya ia tetap merasa tidak puas. Ia merindukan kedekatan itu, namun tidak tahu bagaimana cara meraihnya kembali. Mungkin ia memang harus belajar menjadi lebih mendengar, bukan hanya berbicara.
Keesokan harinya, Ardi memutuskan untuk mencoba pendekatan berbeda. Ketika Andini tengah duduk di ruang keluarga, Ardi duduk di sampingnya dan bertanya, "Boleh Ayah lihat apa yang sedang kamu kerjakan?"
Andini menatap ayahnya sekilas sebelum menyerahkan laptopnya. "Ini tugas presentasi kelompok, Ayah. Tentang lingkungan dan perubahan iklim."
Ardi merasa ada pintu kecil yang terbuka. "Wah, keren juga. Kamu tertarik sama isu lingkungan?"
Andini mengangguk. "Iya. Banyak hal yang kita lakukan sehari-hari ternyata berdampak besar, Ayah."
"Kamu benar. Banyak orang tidak sadar soal itu. Tapi kamu sudah paham hal ini di usia muda, itu luar biasa."
Percakapan yang dimulai dari rasa ingin tahu ini perlahan berkembang. Andini mulai menceritakan pandangannya tentang lingkungan, tentang beberapa kegiatan di sekolah, dan betapa ia tertarik untuk lebih terlibat dalam gerakan sosial yang berkaitan dengan lingkungan. Ardi, yang awalnya merasa tidak nyambung, mulai merasa terlibat dalam dunia Andini. Ia mendengar lebih banyak daripada sebelumnya, tidak hanya sebagai ayah yang memberi nasihat, tetapi sebagai pendengar yang tulus.
Di satu momen, Ardi tiba-tiba teringat akan salah satu nasihat yang pernah ia baca dari Pater JB Berthier, pendiri Kongregasi Keluarga Kudus. Berthier pernah berbicara tentang pentingnya keluarga berkomunikasi dengan cinta kasih dan pengorbanan, sebagaimana Keluarga Kudus: Yesus, Maria, dan Yosef. Ardi menyadari bahwa mungkin ia terlalu fokus pada keinginan untuk mengendalikan hubungan itu, alih-alih membiarkan cinta kasih mengalir secara alami melalui dialog yang jujur dan terbuka.
Selama beberapa minggu ke depan, Ardi terus mencoba berinteraksi lebih dengan Andini. Ia meluangkan waktu untuk mendengar cerita-ceritanya, baik tentang sekolah, teman-teman, atau minat barunya. Ia juga mulai menurunkan ekspektasinya, berhenti menuntut agar Andini selalu terbuka setiap saat. Perlahan tapi pasti, ia merasa hubungan mereka kembali membaik.
Suatu sore, ketika mereka sedang duduk di teras rumah, Andini tiba-tiba bertanya, "Ayah, waktu Ayah masih muda, Ayah pernah nggak merasa nggak dimengerti oleh kakek?"
Ardi tersenyum tipis. "Pernah. Banyak malah. Kakekmu orangnya tegas, dan aku sering merasa terkekang oleh aturan-aturannya. Tapi sekarang, setelah aku jadi ayah, aku mengerti maksud kakek waktu itu."