Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kopi dan Benalu

20 September 2024   10:47 Diperbarui: 20 September 2024   10:47 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(gambar olahan GemAIbot oleh penulis)

Kopi dan Benalu

Di sebuah negeri yang tidak pernah benar-benar damai, pagi datang dengan berita baru: para pejabat tengah sibuk menggodok revisi aturan gratifikasi. Di layar televisi, wajah mereka tampak tersenyum seolah kabar itu hanyalah angin lalu, hal biasa yang perlu dimaklumi. Namun, bagi rakyat jelata, kabar tersebut terasa seperti menyeduh kopi tanpa air - sepah, getir, tapi tetap harus ditelan.

Didi, seorang buruh yang baru saja pulang dari pabrik, duduk di warung kopi pinggir jalan. Udara pagi masih dingin, dan embun belum sepenuhnya hilang dari dedaunan. Di hadapannya, secangkir kopi hitam beraroma kuat menguar, tapi ia tidak segera menyeruput. Matanya terpaku pada layar televisi kecil di sudut warung. Berita pagi itu terus menyoroti bagaimana para pejabat dan keluarganya tampaknya akan segera terbebas dari jeratan aturan gratifikasi.

"Anak dan bini, bahkan seisi keluarga besar hingga tujuh turunan," gumam Didi pelan, mengutip berita yang baru saja didengarnya. Ia mendengus, "Benar-benar tak tahu malu."

Temannya, Ujang, yang duduk di sebelahnya, menimpali, "Kalau begini terus, kita-kita ini cuma numpang hidup di negara sendiri, Di. Pejabat makin kaya, kita makin sesak."

Didi mengangguk, tapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu Ujang benar, tapi setiap kali topik ini dibahas, rasanya seperti mengulang kenyataan pahit yang sudah lama mereka telan - tanpa bisa berbuat apa-apa. Seperti kopi yang Didi minum pagi ini: pahit, tanpa gula, tanpa air. Hanya ampas yang tersisa, tapi ia tetap harus menyesap, karena tidak ada pilihan lain.

Negeri ini pernah dikenal dengan adat ketimurannya, budaya malu yang kuat, dan pemimpin yang seharusnya menjadi teladan. Namun, seiring berjalannya waktu, budaya itu memudar. Muka para pejabat semakin tebal, menebal seiring dengan berjalannya waktu dan makin banyaknya pujian yang mereka terima. Rakyat bisa saja protes, bisa saja menolak. Tapi, siapa yang akan mendengar?

Pejabat-pejabat itu seperti benalu. Didi ingat pepatah lama yang sering dikatakan oleh mendiang ayahnya, "Benalu itu tumbuh di pohon besar, menyerap sari, tapi tak memberi apa-apa." Ia menatap secangkir kopinya lagi. Seperti itulah para pejabat di negeri ini. Pohon besar itu adalah negara, dan benalu yang menggerogotinya adalah mereka, orang-orang yang seharusnya menjadi penjaga, tapi malah sibuk menghisap setiap tetes kehidupan dari tanah tempat mereka berpijak.

Di televisi, berita terus berlanjut. Ada rekaman salah satu pejabat yang berbicara dengan bangga tentang bagaimana aturan ini diperlukan demi "keadilan." Keadilan macam apa? Didi menggelengkan kepala. Kata-kata itu kini seperti dagangan murah di pasar. Setiap hari orang mendengarnya, tapi tak ada yang benar-benar memahami atau merasakan.

Warung kopi mulai ramai. Orang-orang berdatangan, sebagian masih memakai seragam kerja mereka, sebagian lagi baru saja selesai dari pasar. Mereka, seperti Didi, hidup di bawah bayang-bayang aturan yang terus berubah, selalu memihak para penguasa. Setiap kali ada kesempatan untuk menekan mereka, rakyat selalu kalah cepat, selalu tertinggal.

"Sebenarnya, kalau kita bersatu..." suara Ujang pecah dalam lamunan Didi.

"Bersatu gimana, Jang? Kita nggak punya apa-apa. Mereka yang punya semua," jawab Didi dengan nada pasrah.

"Kita punya suara. Kalau semuanya bersuara, mereka bisa apa?"

(olahan GemAIbot oleh penulis)
(olahan GemAIbot oleh penulis)

Didi tersenyum getir. Ujang punya mimpi yang besar, tapi Didi tahu kenyataannya tak sesederhana itu. Pejabat-pejabat ini terlalu kuat. Mereka seperti benalu yang sudah lama menempel. Tidak hanya menghisap sari kehidupan dari pohon, tapi juga menutupi akar-akar yang seharusnya bisa tumbuh dan melawan.

Di negeri ini, korupsi sudah menjadi rahasia umum, tapi jarang ada yang benar-benar berani menindak. Rakyat hanya bisa menonton dari jauh, seperti orang-orang di warung kopi ini, menyaksikan nasib mereka dimainkan oleh tangan-tangan yang tak terlihat.

"Lo inget nggak, dulu kita pernah punya pemimpin yang beneran peduli?" tanya Ujang tiba-tiba.

"Iya, tapi itu dulu, Jang. Sekarang, pejabat cuma peduli sama diri mereka sendiri."

Ujang terdiam sejenak, menatap jauh ke arah jalan raya di depan warung. Mobil-mobil mewah melintas, sesekali motor bebek menyusup di sela-sela kemacetan. Dunia berjalan terus, tak peduli pada percakapan kecil mereka di warung kopi ini.

Didi menghela napas panjang. "Mungkin kita udah terlambat, Jang. Negeri ini terlalu rusak. Budaya malu udah nggak ada. Lihat aja pejabat-pejabat itu, mereka bangga sama aturan yang mereka buat, padahal rakyat yang bakal susah."

"Kita nggak bisa nyerah, Di," jawab Ujang pelan, tapi penuh tekad. "Kalau kita nyerah, mereka yang menang."

Kata-kata Ujang terngiang di kepala Didi sepanjang hari. Sepulang dari warung kopi, ia melewati gedung-gedung tinggi tempat para pejabat bekerja. Bangunan itu tampak megah, seolah menjulang dengan keangkuhan. Di dalamnya, ada mereka - para benalu - yang duduk di kursi empuk, menyusun aturan demi aturan yang semakin mencekik rakyat kecil.

Didi tahu, hidupnya tidak akan berubah banyak. Esok hari ia akan kembali ke pabrik, bekerja hingga lelah, dan kembali ke rumah dengan sedikit penghasilan. Namun, kata-kata Ujang terus menggema di benaknya: "Kalau kita nyerah, mereka yang menang."

Malam itu, Didi duduk di teras rumahnya. Ia kembali menyeduh kopi, kali ini dengan air dan sedikit gula. Rasa pahitnya masih ada, tapi setidaknya sekarang lebih bisa dinikmati. Dalam diam, ia merenungkan apa yang bisa ia lakukan. Sebuah suara kecil dalam hatinya mulai berbicara: mungkin tidak semuanya sudah terlambat. Mungkin masih ada cara untuk melawan, meski caranya tidak jelas.

"Benalu bisa dibasmi," pikir Didi. "Tapi butuh waktu."

Pejabat-pejabat itu mungkin akan terus berkuasa, menyusun aturan demi aturan yang melindungi mereka sendiri. Tapi, di suatu tempat di negeri ini, Didi yakin, ada lebih banyak orang seperti dirinya - yang lelah, yang marah, tapi belum menyerah.

Mungkin suatu hari, benalu itu akan lepas dari pohon besar yang bernama negeri ini. Dan ketika hari itu tiba, mereka yang selama ini menghisap sari kehidupan dari rakyat akan terhempas, jatuh ke tanah, dan dilupakan.

Seperti ampas kopi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun