Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kopi dan Benalu

20 September 2024   10:47 Diperbarui: 20 September 2024   10:47 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kita punya suara. Kalau semuanya bersuara, mereka bisa apa?"

(olahan GemAIbot oleh penulis)
(olahan GemAIbot oleh penulis)

Didi tersenyum getir. Ujang punya mimpi yang besar, tapi Didi tahu kenyataannya tak sesederhana itu. Pejabat-pejabat ini terlalu kuat. Mereka seperti benalu yang sudah lama menempel. Tidak hanya menghisap sari kehidupan dari pohon, tapi juga menutupi akar-akar yang seharusnya bisa tumbuh dan melawan.

Di negeri ini, korupsi sudah menjadi rahasia umum, tapi jarang ada yang benar-benar berani menindak. Rakyat hanya bisa menonton dari jauh, seperti orang-orang di warung kopi ini, menyaksikan nasib mereka dimainkan oleh tangan-tangan yang tak terlihat.

"Lo inget nggak, dulu kita pernah punya pemimpin yang beneran peduli?" tanya Ujang tiba-tiba.

"Iya, tapi itu dulu, Jang. Sekarang, pejabat cuma peduli sama diri mereka sendiri."

Ujang terdiam sejenak, menatap jauh ke arah jalan raya di depan warung. Mobil-mobil mewah melintas, sesekali motor bebek menyusup di sela-sela kemacetan. Dunia berjalan terus, tak peduli pada percakapan kecil mereka di warung kopi ini.

Didi menghela napas panjang. "Mungkin kita udah terlambat, Jang. Negeri ini terlalu rusak. Budaya malu udah nggak ada. Lihat aja pejabat-pejabat itu, mereka bangga sama aturan yang mereka buat, padahal rakyat yang bakal susah."

"Kita nggak bisa nyerah, Di," jawab Ujang pelan, tapi penuh tekad. "Kalau kita nyerah, mereka yang menang."

Kata-kata Ujang terngiang di kepala Didi sepanjang hari. Sepulang dari warung kopi, ia melewati gedung-gedung tinggi tempat para pejabat bekerja. Bangunan itu tampak megah, seolah menjulang dengan keangkuhan. Di dalamnya, ada mereka - para benalu - yang duduk di kursi empuk, menyusun aturan demi aturan yang semakin mencekik rakyat kecil.

Didi tahu, hidupnya tidak akan berubah banyak. Esok hari ia akan kembali ke pabrik, bekerja hingga lelah, dan kembali ke rumah dengan sedikit penghasilan. Namun, kata-kata Ujang terus menggema di benaknya: "Kalau kita nyerah, mereka yang menang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun