HOPE: HAVE ONLY POSITIVE EXPECTATIONS (2)
(Refleksi tentang Relasi Sosial dengan HOPE)
Kemrin saya posting tulisan dengan judul Have Only Positive Expectations yang saya pakai dalam dunia kepenulisan saya. Hari ini, dengan judul yang sama, kita coba melihatnya dalam hubungan sosial. *HOPE: Have Only Positive Expectations* bisa menjadi landasan penting untuk membangun interaksi yang sehat dan bermakna. Prinsip ini tidak hanya mencerminkan sikap mental yang baik, tetapi juga menciptakan dinamika positif dalam hubungan antarindividu. Keempat aspek tersebut - Memiliki (Have), Hanya (Only), Positif (Positive), dan Harapan (Expectations) - menjadi panduan dalam menciptakan hubungan sosial yang harmonis dan penuh pengertian.
Ketika di Madagascar 24 tahun silam, saya belajar Bahasa Prancis dan Madagascar dengan melakukan dua pendekatan berbeda dan hasil yang diperoleh juga berbeda. Kursus Bahasa Prancis dilakukan oleh seorang guru Bahasa Inggris lulusan Inggris. Prosesnya menjadi formal, yang diajarkan lebih menyangkut grammar dan aturan tata Bahasa yang rumit. Sedangkan untuk Bahasa Madagascar, saya melakukan langsung dengan anak-anak usia SD hingga SMA yang datang bermain basket. Kebetulan saya suka basket dan kesempatan mengajari teknik-teknik dasarnya kepada mereka saya akhirnya memiliki banyak teman. Mereka saya "manfaatkan" untuk mengajari saya berbicara Bahasa Madagascar secara langsung.
Setelah tiga bulan kursus, saya malah lebih fasih berbahasa Madagascar (termasuk menulisnya) ketimbang Bahasa Prancis (yang porsi kursusnya tiga kali seminggu) dengan pengantar Bahasa Inggris. Sedangkan Bahasa Madagascar Bahasa Tarzan menjadi Bahasa pengantar (hehe). Dengan pendekatan HOPE yang berbeda, hasil yang saya peroleh dalam relasi sosial juga berbeda. Anak-anak kecil lebih memiliki kepekaan dan kejujuran dan berbahasa sehingga mereka sungguh fokus pada bagaimana saya bisa cepat berbahasa seperti mereka, supaya tidak ada jurang di antara mereka.
Dari pengalaman pemakaian HOPE dalam relasi sosial ini, saya juga merangkum empat hal yang menarik sebagai berikut:
Pertama, MEMILIKI keterbukaan dalam relasi sosial adalah kunci utama.Â
Memiliki di sini berarti memiliki niat yang baik dan tulus dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Ahli psikologi Carl Rogers menekankan pentingnya "unconditional positive regard" atau sikap menerima orang lain tanpa syarat. Dalam hubungan sosial, kita perlu memiliki keterbukaan untuk menerima orang lain apa adanya, tanpa prasangka, untuk menciptakan kepercayaan dan pengertian yang mendalam.
Relasi yang sehat dimulai dari keterbukaan hati dan niat untuk saling memahami. Itulah yang saya alami dengan anak-anak Madagascar di kota Mahazoarivo (dekat rumah dinas perdana menteri Madagascar) di ibu kota Antananarivo. Mereka bisa dengan leluasa menghardik saya kalau saya salah mengucapkan kata-kata yang mereka ajari. Anak-anak selalu punya niat tulus untuk menolong. Dan jika tidak sesuai harapan, mereka akan sampaikan dengan terbuka dan langsung kepada kita. Terbuka dengan anak-anak kecil tidak akan membuat kita sakit hati, karena mereka tidak pernah berniat untuk melukai perasaan atau hati kita. Mereka hanya ingin berteman dengan kita secara apa adanya, bukan ada apanya.
Kedua, pentingnya hanya FOKUS pada aspek-aspek yang membangun dalam hubungan.Â
Ketika berinteraksi, kita sering kali tergoda untuk mengkritisi atau mencari kesalahan dalam diri orang lain. Namun, menurut psikolog Daniel Goleman, fokus pada kecerdasan emosional sangat penting untuk menjaga hubungan yang baik. Ini berarti kita hanya perlu menyoroti hal-hal yang mendukung harmoni dalam relasi, seperti kelebihan dan potensi positif dari orang lain. Dengan fokus pada hal-hal yang membangun, hubungan menjadi lebih positif dan tidak terjebak dalam konflik yang tidak perlu.
Ketika bersama anak-anak yang sering bermain basket, saya fokus pada upaya belajar Bahasa Malagasy sedangkan mereka hanya fokus pada belajar main basket. Sama-sama menguntungkan. Dan bergaul dengan anak-anak, Bahasa bukanlah persoalan utama, tetapi ketidaksediaan dan ketidakrelaan kita untuk membuka hati dan menerima mereka sebagai gurulah yang menyulitkan kita.
Ketiga, menjaga sikap POSITIF dalam interaksi sosial adalah salah satu faktor terpenting.Â
Penelitian dari Martin Seligman, pencetus psikologi positif, menunjukkan bahwa sikap optimis dan positif dapat memperkuat hubungan sosial. Sikap positif tidak hanya membuat kita lebih mudah diterima oleh orang lain, tetapi juga membantu menciptakan suasana interaksi yang lebih nyaman dan hangat. Dengan bersikap positif, kita dapat mengurangi ketegangan dan menciptakan lingkungan sosial yang penuh dengan saling dukung dan apresiasi.
Ketika ke bengkel mobil menemani seorang imam asal Swiss di pusat kota Antananarivo, saya diteriaki oleh seorang anak yang melapor ke ayahnya. "Bapak..bapak..ini ada orang sudah besar tapi tidak bisa bicara Bahasa Malagasy"Â (sebutan untuk Bahasa Madagascar). Atau dalam Bahasa Madagascarnya demikian, "Dada...dada...misy olona efa lehibe fa tsy mahany miteny Gasy"Â dengan ekspresi wajah heran dan merajuk ke sang ayah. Saya pun jujur kalau belum lancar bicara Bahasa Malagasy dan dia bersedia menjadi guru saya. "Raha tsy mahay afaka mampianatra anao aho, jika tidak tahu nanti saya ajari,"Â katanya dengan polos dan sikap yang positif. Dan sikap anak-anak di manapun akan sama, selalu berpikir positif tentang orang lain, kecuali kita orang tua mengajari sebaliknya.
Keempat, setiap hubungan sosial harus didasari oleh HARAPAN yang realistis dan konstruktif.Â
Harapan ini melibatkan keyakinan bahwa setiap individu dalam hubungan akan tumbuh dan berkembang bersama. Seperti yang dijelaskan oleh John Gottman, seorang ahli hubungan, hubungan yang sukses adalah mereka yang dibangun atas dasar harapan yang positif namun realistis, di mana kedua pihak memahami bahwa tidak ada hubungan yang sempurna, namun selalu ada ruang untuk berkembang. Dengan memelihara harapan ini, kita dapat menjaga hubungan tetap dinamis dan terus bertumbuh, bahkan di tengah tantangan.
Seperti halnya yang saya lakukan dengan anak-anak Madagascar. Relasi yang kami bangun berdasarkan HARAPAN yang resiprokal. Saya berharap bisa berbahasa Malagasy dan mereka berharap bisa bermain basket. Kedua harapan itu membutuhkan biaya apapun selalu MEMBUKA HATI UNTUK SALING MEMBERI DAN MENERIMA DIRI APA ADANYA. Â
Akhirnya, dengan prinsip "HOPE: Have Only Positive Expectations" ini hubungan sosial dapat menjadi fondasi bagi interaksi yang lebih sehat dan penuh arti. Memiliki keterbukaan, fokus pada hal-hal positif, menjaga sikap optimis, dan memelihara harapan akan membawa kita pada relasi yang lebih harmonis dan bermakna, yang saling menguntungkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI