Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Di Bawah Bayang-Bayang Sirene

14 September 2024   22:20 Diperbarui: 14 September 2024   22:22 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Bawah Bayang-Bayang Sirene

Angin malam terasa tenang, berlawanan dengan hati para penghuninya yang selalu waspada. Di sebuah rumah sederhana, beberapa anak berkumpul di depan guru mereka, bercerita dengan semangat tentang pengalaman yang menghantui kehidupan keluarga mereka di negeri seberang.

"Bu, ayah saya pernah hampir dimakan buaya saat melarikan diri dari polisi di Malaysia," ucap seorang siswa, Bayu, dengan nada getir. Semua mata tertuju padanya. Bayu, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun, bercerita tentang ayahnya yang bekerja di Malaysia sebagai buruh tanpa dokumen resmi.

"Dia lari ke hutan bakau, Bu. Di sana banyak buaya. Kami sekeluarga selalu khawatir setiap kali ada razia paspor. Ayah sering tidur di hutan agar tidak tertangkap polisi," lanjut Bayu, matanya memandang lurus ke depan seolah sedang mengingat kembali kisah mencekam itu.

Suara gemerisik daun di malam itu membuat beberapa siswa menoleh, seolah bayangan sirene polisi Malaysia masih membayangi mereka. Bagi mereka, kehidupan sebagai anak dari pekerja migran adalah campuran antara harapan, ketakutan, dan kenangan yang selalu siap menghantui kapan saja.

"Ayah saya juga sering lari ke hutan, Bu," sambung Nisa, gadis kecil berwajah cerah namun matanya menyimpan duka. "Satu malam, kami mendengar suara sirene. Kami semua langsung lari, masuk ke semak-semak, bersembunyi di sana sampai satu jam. Tapi ternyata... itu cuma mobil tetangga yang pulang larut malam," ucapnya dengan nada getir. Yang lain tertawa kecil mendengar cerita itu, namun di balik tawa ada rasa lega yang terasa seperti embusan napas panjang setelah ketegangan yang panjang.

**

Kisah-kisah semacam ini adalah bagian dari kehidupan anak-anak yang orang tuanya bekerja di Malaysia sebagai pekerja migran ilegal. Setiap hari adalah pertarungan antara harapan untuk hidup lebih baik dan ketakutan dikejar polisi. Bagi mereka, lampu biru berkedip dan suara sirene menjadi penanda bahaya, seolah malaikat maut tengah mendekat.

Guru mereka, seorang perempuan berusia awal tiga puluhan, mendengarkan dengan sabar. Ia tahu, anak-anak ini butuh ruang untuk bercerita, untuk melepaskan rasa takut dan trauma yang mungkin masih mereka simpan. Dia juga tahu, cerita-cerita ini bukan sekadar kisah petualangan yang menakutkan---ini adalah kenyataan hidup yang mereka jalani dengan risiko yang begitu besar.

Suatu hari, anak-anak itu kembali berkumpul, kali ini untuk menceritakan salah satu peristiwa paling menakutkan yang pernah mereka alami.

"Bu," suara Adi, seorang anak yang terkenal pendiam, terdengar pelan. "Saya pernah melihat ayah saya diseret polisi Malaysia." Tiba-tiba suasana menjadi hening. Semua mata memandang Adi, yang masih menunduk.

"Saat itu kami tinggal di rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Ada razia besar-besaran. Ayah tidak punya tempat untuk lari lagi, polisi sudah mengepung semua jalur keluar. Saya hanya bisa melihat dari jendela saat mereka menangkap ayah, memborgolnya, dan membawanya pergi," suara Adi bergetar. "Kami tidak bisa melakukan apa-apa, Bu. Kami hanya bisa menangis."

Guru itu menggenggam tangan Adi, memberinya kekuatan untuk melanjutkan. "Setelah itu, ayah saya dideportasi. Kami kembali ke Indonesia dengan hati yang hancur. Ayah bilang, 'Lebih baik kita pulang, daripada harus hidup dalam bayang-bayang ketakutan selamanya.'"

**

(dokpri)
(dokpri)

Banyak dari anak-anak ini telah kehilangan waktu berharga bersama orang tua mereka. Ada yang tumbuh tanpa ayah, ada yang merindukan ibunya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri seberang. Namun di balik cerita-cerita pilu ini, selalu ada harapan---harapan bahwa suatu hari mereka bisa hidup tenang, tanpa takut dikejar-kejar oleh polisi.

"Bu, saya rindu ayah saya," kata Lani, gadis kecil berambut hitam legam. "Ayah saya masih di Malaysia. Saya tidak tahu kapan dia bisa pulang. Setiap malam, saya berdoa agar dia baik-baik saja di sana."

Guru itu terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk menguatkan hati murid-muridnya. Dia tahu, di balik senyum dan tawa mereka, tersimpan luka dan kerinduan yang mendalam.

"Kalian semua adalah anak-anak yang kuat," ucapnya dengan suara lembut. "Orang tua kalian bekerja keras agar kalian bisa hidup lebih baik. Mereka melakukan ini karena cinta, meskipun mereka harus menghadapi banyak risiko. Kalian harus bangga pada mereka."

Mata anak-anak itu berkilat, bukan karena kebahagiaan, tetapi karena kesadaran akan beratnya perjuangan yang harus dihadapi oleh keluarga mereka. Beberapa dari mereka mungkin masih trauma dengan pengalaman "kucing-kucingan" dengan polisi, sementara yang lain sudah mulai menerima bahwa hidup mereka memang harus terus berjalan.

Namun, di balik cerita-cerita itu, ada satu pertanyaan besar yang selalu mengganjal: di mana negara dalam semua ini? Mengapa mereka harus hidup dalam ketakutan di negeri orang, bekerja tanpa perlindungan, dikejar-kejar polisi seperti kriminal hanya karena ingin menghidupi keluarga mereka?

**

Malam itu berakhir dengan keheningan yang terasa berat. Anak-anak itu kembali ke rumah masing-masing, membawa cerita yang masih belum selesai. Mereka masih menunggu jawaban, entah dari siapa. Tapi mereka tahu, jawaban itu tidak akan datang dengan cepat.

Sang guru duduk sendirian di bangku kelas yang sudah kosong. Ia merenung, membayangkan bagaimana rasanya menjadi anak-anak ini, hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan. Di balik wajah-wajah polos mereka, ada begitu banyak beban yang harus mereka pikul.

Dia tahu, tugasnya sebagai guru bukan hanya mengajarkan matematika atau bahasa Indonesia. Tugasnya juga mendengarkan, memahami, dan memberikan ruang bagi anak-anak ini untuk menceritakan kisah-kisah mereka---kisah tentang keberanian, ketakutan, dan kerinduan.

Namun, sebagai warga negara, dia juga sadar bahwa ada tanggung jawab yang lebih besar. Negara seharusnya hadir untuk melindungi warganya, bahkan mereka yang bekerja di negeri seberang. Negara seharusnya melindungi anak-anak ini dari trauma yang tak seharusnya mereka alami. Karena di balik cerita-cerita mereka, ada jeritan yang menuntut perhatian, ada luka yang butuh penyembuhan.

Malam semakin larut, dan guru itu tahu, perjuangan masih panjang. Tapi dia juga tahu, selama masih ada yang mau mendengarkan, masih ada harapan. Harapan untuk hidup yang lebih baik, tanpa harus bermain kucing-kucingan dengan polisi di negeri orang, tanpa harus tidur dengan ketakutan di bawah bayang-bayang sirene.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun