Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terjebak antara Distraksi dan Konsumsi Hiperbolik

14 September 2024   07:46 Diperbarui: 14 September 2024   07:48 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terjebak antara Distraksi dan Konsumsi Hiperbolik

Fenomena viralnya akun X (twiter) "Fufufafa" yang menjadi tranding topic di media sosial khususnya X, seperti banyak tren lainnya, dapat dilihat sebagai gejala dari pola komunikasi modern yang dipicu oleh kekuatan teknologi dan konsumsi digital yang masif. Saya tidak fokus pada isi atau content akun "Fufufafa" yang menghebohkan itu. Saya hanya fokus pada viralnya "kasus" semacam ini ketika pemilik akunnya adalah orang-orang yang kemudian diketakui sebagai public figure. 

Akun ini disinyalir milik seorang putra anak orang nomor satu di negara ini, sekaligus orang yang kemudian terpilih sebagai orang nomor dua menggantikan periode sang ayah. Sengaja saya tidak menunjuk langsung batang hidungnya, biar masyarakat mencari tahu seperti apa "ganasnya" isi akun fufufafa itu sebelumnya. Tak pernah terpikirkan bahwa itu pernah dilakukan oleh seorang anak pejabat yang telah menghipnotis masyarakat dengan tampilan yang tampak kamuflatif. Fenomena ini dapat ditinjau dari berbagai perspektif kontradiktoris baik secara psikologis, politis, ekonomi, dan bisnis.

Distraksi atau Pelepasan?

Dari sudut pandang psikologis, fenomena viral akun sosial media semacam "Fufufafa" bisa dilihat sebagai bentuk distraksi massal. Banyak pengguna media sosial yang terpancing untuk mengikuti tren-tren seperti ini sebagai pelarian dari stres atau kecemasan dalam kehidupan sehari-hari. Alih-alih menghadapi masalah nyata, masyarakat lebih memilih untuk terlibat dalam aktivitas yang ringan dan tidak terlalu memikirkan implikasi yang lebih dalam. 

Namun, pandangan kontradiktorisnya adalah bahwa tren semacam ini juga dapat berfungsi sebagai katarsis kolektif, memberikan kesempatan bagi banyak orang untuk tertawa dan berbagi kesenangan yang sederhana, memperkuat ikatan sosial dan mengurangi tekanan psikologis secara sementara.

Pengalihan Isu atau Kehendak Rakyat?

Secara politis, fenomena seperti "Fufufafa" seringkali dipandang sebagai teknik pengalihan isu. Ketika tren ringan dan viral menyita perhatian publik, isu-isu penting yang lebih mendalam---seperti masalah politik, ekonomi, atau sosial---bisa terabaikan. Hal ini sering dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang memiliki kepentingan tertentu untuk menekan informasi yang kurang menguntungkan atau menghindari sorotan media terhadap kebijakan kontroversial. 

Namun, di sisi lain, ada juga argumen bahwa fenomena viral adalah bentuk kehendak rakyat dalam ruang digital yang semakin bebas. Di sinilah masyarakat dapat menentukan apa yang ingin mereka perbincangkan tanpa dikontrol oleh narasi elite politik, menunjukkan kekuatan netizen untuk mengontrol topik percakapan.

Perputaran Modal atau Konsumsi Hiperbolik?

Dari perspektif ekonomi, tren semacam "Fufufafa" menciptakan peluang bisnis yang besar, baik bagi pembuat konten, platform media sosial, maupun para pemasar. Fenomena viral ini meningkatkan engagement, mendatangkan lebih banyak traffic, yang pada gilirannya menghasilkan pendapatan iklan yang besar. Para influencer dan brand juga memanfaatkan tren ini untuk menjual produk atau jasa secara kreatif. 

Namun, di sisi yang lebih kontradiktif, ada kritik bahwa tren semacam ini memperkuat konsumsi hiperbolik, di mana masyarakat semakin terdorong untuk membeli produk atau layanan yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Ini mengarah pada pola konsumsi yang tidak berkelanjutan, di mana produk dipasarkan secara berlebihan berdasarkan momen viral, bukan karena nilai intrinsik atau kebutuhan nyata.

Inovasi atau Pengulangan?

Dalam konteks bisnis, fenomena viral bisa dianggap sebagai inovasi pemasaran yang cerdas, di mana brand mampu menyesuaikan diri dengan tren untuk tetap relevan di mata konsumen. Tren viral seperti "Fufufafa" memberikan kesempatan bagi bisnis untuk berinteraksi dengan konsumen dengan cara yang kreatif dan terhubung secara emosional. 

Namun, dari perspektif yang berlawanan, tren ini juga bisa dianggap sebagai pengulangan pola yang dangkal. Bisnis mungkin terjebak dalam siklus mengejar tren jangka pendek tanpa memberikan inovasi yang mendalam atau produk yang substansial, yang pada akhirnya hanya mengeksploitasi gelombang viralitas tanpa membawa nilai jangka panjang bagi konsumen.

Jadi,...

Secara keseluruhan, fenomena "Fufufafa" di media sosial mencerminkan dualitas dari dunia digital: ia bisa menjadi distraksi yang dangkal atau pelepasan psikologis yang dibutuhkan; pengalihan isu politik atau ekspresi kehendak kolektif; peluang ekonomi yang menguntungkan atau konsumsi yang berlebihan; serta inovasi bisnis atau pengulangan tren. Di balik fenomena viral, selalu ada lapisan-lapisan kompleksitas yang mengundang refleksi lebih dalam tentang bagaimana kita sebagai masyarakat merespons dan berpartisipasi dalam budaya digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun