Zaken Kabinet yang Tertunda
Malam itu, hujan rintik-rintik membasahi jalanan ibukota. Di dalam sebuah kafe kecil di sudut kota, dua pria tengah duduk di pojok, wajah mereka penuh beban. Satu sosok adalah Dr. Jaya, ekonom ulung yang telah lama digadang-gadang sebagai bagian dari kabinet impian. Sosok satunya lagi adalah Iman, seorang politikus muda yang idealismenya sering kali dihantam realitas politik.
"Aku tak paham, Iman," kata Dr. Jaya seraya menyeruput kopi hitamnya, "kita sudah berkali-kali bicara tentang zaken kabinet, tapi mengapa tak pernah menjadi kenyataan?"
Iman menghela napas panjang. "Mungkin karena harapan itu sendiri, Jaya. Kamu tahu, dalam sistem ini, tak ada yang gratis. Para politisi masuk ke permainan ini dengan harga yang sangat mahal. Dan mereka perlu mengembalikan modal itu."
Dr. Jaya mengernyitkan dahi. "Apa kamu sedang bilang bahwa cita-cita kita---kabinet yang murni berdasarkan keahlian dan bukan kepentingan politik---hanya akan tetap menjadi mimpi?"
Iman terdiam sejenak. Tatapannya melayang keluar jendela, memandang hujan yang membasahi lampu-lampu jalanan. "Sebenarnya, bukan hanya mimpimu yang tertunda, Jaya. Semua orang ingin perubahan, tapi tidak semua siap membayarnya dengan kejujuran. Para politisi melihat jabatan sebagai investasi. Dan setiap investasi, harus ada untungnya."
Dr. Jaya meletakkan cangkir kopinya dengan sedikit gemetar. "Kau tahu, dulu aku percaya bahwa dengan bergabungnya kita ke dalam sistem, kita bisa mengubahnya. Aku pikir dengan menghadirkan zaken kabinet, kita bisa mengubah arah bangsa ini. Tapi, di setiap pintu yang ku ketuk, di setiap ruangan rapat yang ku masuki, yang mereka tanyakan hanya satu: 'Apa yang akan saya dapatkan?'"
"Karena itu, mereka butuh jaminan," potong Iman. "Dan jaminan itu sering kali datang dalam bentuk uang, kontrak, atau kekuasaan."
"Kita berbicara tentang masa depan negara, Iman. Ini bukan soal individu atau kelompok. Aku muak melihat para politisi yang hanya mengutamakan diri mereka. Mereka bicara soal pembangunan, soal kemakmuran, tapi di balik layar mereka menjual bangsa ini sedikit demi sedikit."
Iman tersenyum getir. "Itulah politik, Jaya. Di permukaan, semuanya tentang rakyat. Di belakang layar, semuanya tentang uang dan kekuasaan."
"Tapi bukankah kita bisa melawan arus itu?" tanya Dr. Jaya, matanya berbinar penuh harapan. "Bukankah kita bisa mendobrak sistem ini dengan menghadirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar berintegritas?"
Iman terdiam sejenak. "Mungkin bisa, tapi tidak mudah. Kamu tahu berapa banyak kompromi yang harus kita buat hanya untuk satu kebijakan kecil? Setiap keputusan adalah pertarungan antara idealisme dan kenyataan pahit."
"Aku tidak bisa terus begini, Iman. Aku tidak bisa terus melihat harapan-harapan ini mati di tangan politisi yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri."
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Iman, menatap langsung ke mata Dr. Jaya.
Dr. Jaya menghela napas berat. "Aku akan mundur. Jika cita-cita kita untuk zaken kabinet hanya akan menjadi ilusi, lebih baik aku bekerja di tempat di mana keahlianku dihargai tanpa harus bernegosiasi dengan kepentingan politik."
Iman menggelengkan kepala pelan. "Kau pikir dengan mundur, semuanya akan berubah? Justru sebaliknya, Jaya. Jika orang sepertimu pergi, maka hanya politisi yang tersisa. Dan saat itu, kita tak lagi memiliki kesempatan untuk memperbaiki sistem ini dari dalam."
"Tapi aku sudah lelah, Iman. Setiap hari aku mendengar alasan yang sama: pengembalian modal, kepentingan partai, pengaturan kursi kabinet. Aku ingin bekerja untuk rakyat, bukan untuk segelintir elite yang hanya tahu bagaimana memperkaya diri."
Iman tersenyum pahit. "Dan itulah dilema kita. Cita-cita untuk zaken kabinet memang indah, tapi cita-cita tanpa dukungan kekuasaan hanyalah angin kosong."
Malam semakin larut. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan di luar semakin deras, seolah menegaskan betapa beratnya jalan menuju perubahan. Namun, di tengah keputusasaan itu, Dr. Jaya merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin ada cara lain, jalan lain yang bisa ditempuh tanpa harus tunduk pada permainan politik.
"Tapi," kata Dr. Jaya, suaranya terdengar mantap, "mungkin aku tidak akan mundur, setidaknya belum. Aku masih percaya, Iman, bahwa harapan tidak sepenuhnya hilang."
Iman menatapnya dengan pandangan penuh harapan. "Itu dia, Jaya. Aku butuh orang sepertimu. Jika kita menyerah, maka siapa yang akan memperjuangkan zaken kabinet?"
Malam itu, meski hujan deras masih mengguyur kota, di pojok kafe kecil itu, dua orang lelaki memutuskan untuk tetap berjuang. Mungkin mereka tak akan memenangkan setiap pertarungan, mungkin mereka tak akan segera melihat zaken kabinet menjadi kenyataan. Tapi setidaknya, mereka tidak menyerah pada ilusi. Mereka memilih untuk tetap berpegang pada harapan, meski jalan menuju cita-cita mereka penuh liku.
***
Dialog Terakhir: Iman: "Kamu tahu, harapan bisa jadi ilusi bagi mereka yang tak punya nyali, tapi bagi kita, harapan adalah satu-satunya bahan bakar untuk bertahan."
Dr. Jaya: "Dan mungkin itu yang kita butuhkan, Iman. Bukan kemenangan instan, tapi nyali untuk terus melangkah meski dengan langkah-langkah kecil."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H