"Tapi bukankah kita bisa melawan arus itu?" tanya Dr. Jaya, matanya berbinar penuh harapan. "Bukankah kita bisa mendobrak sistem ini dengan menghadirkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar berintegritas?"
Iman terdiam sejenak. "Mungkin bisa, tapi tidak mudah. Kamu tahu berapa banyak kompromi yang harus kita buat hanya untuk satu kebijakan kecil? Setiap keputusan adalah pertarungan antara idealisme dan kenyataan pahit."
"Aku tidak bisa terus begini, Iman. Aku tidak bisa terus melihat harapan-harapan ini mati di tangan politisi yang hanya peduli pada kepentingan mereka sendiri."
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Iman, menatap langsung ke mata Dr. Jaya.
Dr. Jaya menghela napas berat. "Aku akan mundur. Jika cita-cita kita untuk zaken kabinet hanya akan menjadi ilusi, lebih baik aku bekerja di tempat di mana keahlianku dihargai tanpa harus bernegosiasi dengan kepentingan politik."
Iman menggelengkan kepala pelan. "Kau pikir dengan mundur, semuanya akan berubah? Justru sebaliknya, Jaya. Jika orang sepertimu pergi, maka hanya politisi yang tersisa. Dan saat itu, kita tak lagi memiliki kesempatan untuk memperbaiki sistem ini dari dalam."
"Tapi aku sudah lelah, Iman. Setiap hari aku mendengar alasan yang sama: pengembalian modal, kepentingan partai, pengaturan kursi kabinet. Aku ingin bekerja untuk rakyat, bukan untuk segelintir elite yang hanya tahu bagaimana memperkaya diri."
Iman tersenyum pahit. "Dan itulah dilema kita. Cita-cita untuk zaken kabinet memang indah, tapi cita-cita tanpa dukungan kekuasaan hanyalah angin kosong."
Malam semakin larut. Keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hujan di luar semakin deras, seolah menegaskan betapa beratnya jalan menuju perubahan. Namun, di tengah keputusasaan itu, Dr. Jaya merasakan sesuatu yang berbeda. Mungkin ada cara lain, jalan lain yang bisa ditempuh tanpa harus tunduk pada permainan politik.
"Tapi," kata Dr. Jaya, suaranya terdengar mantap, "mungkin aku tidak akan mundur, setidaknya belum. Aku masih percaya, Iman, bahwa harapan tidak sepenuhnya hilang."
Iman menatapnya dengan pandangan penuh harapan. "Itu dia, Jaya. Aku butuh orang sepertimu. Jika kita menyerah, maka siapa yang akan memperjuangkan zaken kabinet?"