Hadiah yang Terlambat
Angin berhembus dingin, ketika keheningan malam mulai mengendap di sudut-sudut kota. Tika baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ruang tamu, menyiapkan bahan-bahan untuk presentasi esok hari. Lampu-lampu redup di apartemen mungilnya hanya menyisakan kilatan-kilatan dari layar laptop. Semua tampak tenang, hingga terdengar ketukan lembut di pintu depan.
Pukul sebelas lewat lima belas menit. Siapa yang datang selarut ini?
Dengan ragu, Tika berjalan ke arah pintu. Ketika dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat waktu seakan berhenti. Sosok yang sudah lebih dari dua puluh tahun tak pernah ia lihat, namun tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.
"Rina?" gumamnya, hampir tak percaya.
Sosok wanita berambut panjang di depan pintu tersenyum lembut. Meski beberapa guratan usia tampak di wajahnya, Tika masih bisa mengenali sahabatnya itu. Sahabat yang dulu selalu mengisi hari-harinya di bangku sekolah, sebelum mereka berpisah tanpa kabar setelah lulus.
"Tika," jawab Rina dengan suara yang tak berubah, tetap hangat, tetap penuh kenangan.
Air mata yang tak pernah direncanakan tiba-tiba saja jatuh dari mata Tika. Tanpa kata, mereka berpelukan erat, seolah menyatukan kembali semua kenangan yang pernah terpecah oleh jarak dan waktu. Ada rasa rindu yang selama ini terpendam, tanpa mereka sadari, bertemu kembali malam ini seakan membuka lembaran lama yang tersimpan rapi dalam hati masing-masing.
"Bagaimana bisa kamu di sini?" tanya Tika, melepaskan pelukan, matanya masih basah.
"Aku sedang ada urusan di kota ini. Lalu aku ingat kamu tinggal di sini, jadi aku memutuskan untuk mampir. Sudah terlalu lama kita tidak bertemu, ya?" Rina tertawa kecil, mencoba meredakan emosi yang tiba-tiba memuncak di hati mereka.