Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen) Hadiah yang Terlambat

12 September 2024   21:41 Diperbarui: 12 September 2024   21:45 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hadiah yang Terlambat

Angin berhembus dingin, ketika keheningan malam mulai mengendap di sudut-sudut kota. Tika baru saja menyelesaikan pekerjaannya di ruang tamu, menyiapkan bahan-bahan untuk presentasi esok hari. Lampu-lampu redup di apartemen mungilnya hanya menyisakan kilatan-kilatan dari layar laptop. Semua tampak tenang, hingga terdengar ketukan lembut di pintu depan.

Pukul sebelas lewat lima belas menit. Siapa yang datang selarut ini?

Dengan ragu, Tika berjalan ke arah pintu. Ketika dibuka, sosok yang berdiri di hadapannya membuat waktu seakan berhenti. Sosok yang sudah lebih dari dua puluh tahun tak pernah ia lihat, namun tak pernah benar-benar hilang dari ingatannya.

"Rina?" gumamnya, hampir tak percaya.

Sosok wanita berambut panjang di depan pintu tersenyum lembut. Meski beberapa guratan usia tampak di wajahnya, Tika masih bisa mengenali sahabatnya itu. Sahabat yang dulu selalu mengisi hari-harinya di bangku sekolah, sebelum mereka berpisah tanpa kabar setelah lulus.

"Tika," jawab Rina dengan suara yang tak berubah, tetap hangat, tetap penuh kenangan.

Air mata yang tak pernah direncanakan tiba-tiba saja jatuh dari mata Tika. Tanpa kata, mereka berpelukan erat, seolah menyatukan kembali semua kenangan yang pernah terpecah oleh jarak dan waktu. Ada rasa rindu yang selama ini terpendam, tanpa mereka sadari, bertemu kembali malam ini seakan membuka lembaran lama yang tersimpan rapi dalam hati masing-masing.

"Bagaimana bisa kamu di sini?" tanya Tika, melepaskan pelukan, matanya masih basah.

"Aku sedang ada urusan di kota ini. Lalu aku ingat kamu tinggal di sini, jadi aku memutuskan untuk mampir. Sudah terlalu lama kita tidak bertemu, ya?" Rina tertawa kecil, mencoba meredakan emosi yang tiba-tiba memuncak di hati mereka.

Tika mempersilakan Rina masuk. Mereka duduk di sofa, dan perasaan canggung yang sempat muncul karena berpisah begitu lama langsung sirna seiring dengan percakapan yang mengalir. Mereka mulai bercerita, saling mengejar waktu, bertukar kisah tentang hidup masing-masing.

Rina bercerita tentang pekerjaannya, keluarganya, dan perjalanan hidup yang tidak selalu mudah. Ada rasa pahit ketika membicarakan hal-hal yang pernah menyakitkan, tetapi juga ada tawa dan kelegaan karena pada akhirnya, ia bisa menghadapinya.

Sementara itu, Tika juga bercerita tentang hari-harinya yang kadang sunyi di tengah kesibukan. Betapa ia merindukan saat-saat di mana mereka dulu bisa tertawa bebas tanpa beban. Mereka berbicara hingga tak terasa waktu terus berjalan, detik demi detik merangkai kembali jalinan persahabatan mereka.

"Aku tidak membawa apa-apa, Tika," kata Rina di sela-sela obrolan, suaranya merendah, seakan merasa bersalah karena datang dengan tangan kosong.

Tika menggeleng. "Rina, kamu tidak perlu membawa apapun. Perjumpaan ini saja sudah lebih dari cukup. Kita mungkin tidak akan selalu bisa bertemu lagi seperti dulu, tapi malam ini adalah hadiah yang luar biasa buatku."

Rina tersenyum, matanya berbinar penuh syukur. "Aku merasa hal yang sama."

Malam semakin larut, dan Rina tahu ia harus pergi. Ada pekerjaan yang menunggunya esok hari. Namun sebelum beranjak, mereka kembali berpelukan, kali ini dengan rasa syukur yang lebih mendalam. Tika mengantarkan Rina hingga ke pintu, dan saat pintu itu tertutup, ia berdiri sejenak, memandangi ke arah pintu dengan perasaan yang bercampur aduk.

Malam itu, Tika menyadari bahwa pertemuan singkat dengan sahabat lama adalah sebuah anugerah. Mereka tak butuh barang atau hadiah untuk mengingatkan mereka akan masa lalu. Kehadiran dan kebersamaan, walau sesaat, adalah harta paling berharga yang pernah dimiliki dalam sebuah persahabatan.

Tika duduk kembali di sofa, tersenyum sendiri. Mungkin malam sudah larut, tetapi baginya, hari itu baru saja dimulai kembali dengan hadirnya Rina di hidupnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun