KEBAIKAN DI TEPI JALAN
Fatima memandangi dapurnya yang sederhana. Tak ada yang istimewa di sana - beberapa panci bekas, kompor minyak tua, dan rak kayu tempat menyimpan piring-piring usang. Hidupnya serba pas-pasan, serba cukup saat dibutuhkan. Di rumah kecilnya, ia tak pernah memiliki lebih dari yang ia perlukan, tapi entah bagaimana, ia selalu bertahan.
Di hari itu, seperti biasa, Fatima sedang menyiapkan bubur untuk pria tua yang tinggal di samping rumahnya. Namanya Pak Hasan. Sudah bertahun-tahun ia sakit-sakitan, dan tak ada satu pun keluarga yang peduli padanya. Maka, Fatima, dengan segala keterbatasannya, merawatnya seolah ia adalah ayahnya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara motor tua di depan rumah. Suaranya memekakkan telinga dan penuh batuk-batuk, hingga akhirnya mati total. Fatima mengintip dari jendela, dan di luar sana, seorang perempuan yang tidak ia kenal tengah berusaha menyalakan kembali motornya.
Dengan sigap, Fatima membuka pintu dan melangkah keluar.
"Assalamu'alaikum, Bu," sapanya, mendekati perempuan itu yang tampak bingung dan frustrasi.
"Wa'alaikumussalam, Bu," jawab perempuan itu, sambil menyeka keringat di dahinya. "Motor saya mogok, dan saya harus segera ke kota. Saya bingung harus bagaimana."
Fatima melihat perempuan itu, sebut saja Pulung, tampak kelelahan. Ia menghela napas dalam-dalam, mengingat betapa sulitnya hidup bagi siapa pun yang terjebak di tengah masalah tanpa solusi. Tanpa banyak berpikir, Fatima menawarkan bantuan.
"Kalau begitu, pakai saja motor saya, Bu. Motor saya ada di belakang rumah, mungkin bisa membantu Anda sampai ke kota."
Pulung terkejut mendengar tawaran itu. "Aduh, Bu, saya baru kenal Ibu. Mana mungkin saya meminjam motor Ibu?"
Fatima hanya tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu. Saya tidak sering ke mana-mana, lagipula, kalau Anda memang perlu cepat ke kota, lebih baik segera berangkat. Tidak usah khawatir."
Pulung ragu sejenak, lalu melihat motor Fatima yang tampak masih layak jalan. "Baiklah, kalau begitu saya pinjam sebentar. Tapi saya janji, setelah urusan saya selesai, saya akan segera kembalikan."
"Silakan," jawab Fatima. Kemudian ia berjalan masuk ke rumah dan kembali dengan selembar uang Rp100 ribu. "Ini untuk bensin, dan mungkin berjaga-jaga di jalan."
Mata Pulung melebar. "Bu, ini terlalu banyak. Saya tak enak hati."
Fatima menggenggam tangan Pulung, memaksa uang itu tetap berada di sana. "Tidak apa-apa. Jalan ke kota jauh, siapa tahu nanti perlu sesuatu. Lebih baik bersiap-siap."
Dengan hati yang penuh terima kasih, Pulung menerima motor dan uang itu. "Terima kasih banyak, Bu Fatima. Saya akan segera kembalikan setelah urusan saya selesai."
Fatima hanya tersenyum. "Berhati-hatilah di jalan."
Sore menjelang malam, Fatima sedang duduk di teras kecil rumahnya sambil mendengar suara gemericik air dari ember yang dipakai untuk mencuci piring. Pak Hasan sudah tertidur di kamarnya, dan hari itu Fatima merasa damai, meski sedikit lelah. Ia berharap Pulung bisa menyelesaikan urusannya dengan baik.
Tak lama kemudian, suara motor terdengar lagi dari kejauhan. Fatima mengenali suaranya.
Pulung tiba dengan senyuman yang lebih lebar dari sebelumnya, membawa motor yang kini terlihat bersih dan suara mesinnya halus.
"Assalamu'alaikum, Bu Fatima," sapanya ramah, turun dari motor.
"Wa'alaikumussalam, Pulung. Alhamdulillah, kau sudah kembali. Bagaimana urusannya di kota?" tanya Fatima.
"Alhamdulillah, lancar, Bu. Tapi saya tidak datang hanya untuk mengembalikan motor. Saya juga ingin mengembalikan kebaikan Ibu."
Fatima tampak bingung. "Apa maksudmu?"
Pulung tersenyum. "Begini, Bu. Motor yang saya pinjam itu... saya bawa ke bengkel. Saya pikir, kalau sudah dipinjam, setidaknya saya harus pastikan motor Ibu dalam kondisi baik. Mesinnya saya servis, dan saya ganti oli juga."
Fatima terdiam, merasa tersentuh. "Kau tidak perlu melakukannya, Pulung. Itu hanya bantuan kecil."
"Tidak, Bu Fatima. Bagi saya, ini lebih dari sekadar pinjaman motor. Kebaikan Ibu tidak bisa saya bayar hanya dengan kata terima kasih. Saya juga tidak ingin mengembalikan motor dalam keadaan yang sama seperti saat saya meminjamnya."
Fatima mengangguk, tak bisa berkata apa-apa. Matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Pulung. Aku tak menyangka kau akan melakukan ini."
Pulung kemudian merogoh saku tasnya dan mengeluarkan selembar uang. "Dan ini, Bu. Uang Rp100 ribu yang Ibu pinjamkan tadi."
Fatima menatap uang itu, lalu tersenyum. "Simpan saja. Kau sudah melakukan lebih dari cukup. Lagipula, kau sudah memperbaiki motorku. Uang itu tidak penting lagi."
Pulung tampak terkejut. "Tapi, Bu..."
Fatima menepuk tangan Pulung pelan, memberi isyarat agar dia tidak memaksakan diri. "Kebaikan tak selalu harus dibalas dengan materi, Pulung. Kau sudah menunjukkan kebaikanmu dengan memperbaiki motor itu. Itu lebih dari cukup."
Pulung tersenyum, terharu mendengar kata-kata Fatima. Mereka berdua duduk di teras, menikmati sore yang mulai gelap.
Fatima memandang langit yang mulai memudar ke oranye. "Terkadang, hidup memang serba pas-pasan, Pulung. Tapi yang paling penting, hati kita tetap kaya."
Pulung tersenyum, merasa hatinya lebih ringan. "Benar, Bu. Saya belajar banyak hari ini."
Malam itu, mereka berdua berbincang tentang banyak hal - tentang hidup, tentang kebaikan, dan tentang bagaimana manusia saling menolong tanpa mengharapkan imbalan. Ketika Pulung akhirnya pulang, Fatima merasa hangat di dalam hatinya. Tidak karena motornya telah diperbaiki, tetapi karena dia tahu, di dunia yang penuh ketidakpastian ini, selalu ada ruang bagi kebaikan.
Dan yang paling penting, ia tahu bahwa kebaikan tak pernah sia-sia. Kebaikan selalu berputar, kembali dengan cara yang tidak pernah diduga.
Kaki Merapi, menjelang magrib 09 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H