Dengan langkah berat, Raja Agung turun dari singgasananya dan berjalan menuju ruang takhtanya yang megah namun kini terasa sepi dan hampa. Ia menyadari bahwa semua yang ia kejar selama ini hanyalah ilusi yang menipunya, dan di balik semua kekuasaan itu, ia hanyalah seorang manusia yang lemah.
Pagi itu, saat matahari mulai terbit, Raja Agung berjalan keluar dari istana tanpa iring-iringan atau pengawalan. Ia berjalan menuju desa tempat ia dulu tinggal, tempat di mana ia pernah dikenal sebagai seorang pemuda yang bijaksana dan rendah hati. Namun, saat ia sampai di desa itu, ia hanya menemukan reruntuhan yang pernah menjadi tempat tinggalnya. Rumah-rumah yang dahulu penuh dengan tawa kini hancur dan ditinggalkan. Tidak ada lagi kehidupan, hanya puing-puing yang berserakan.
Raja Agung jatuh berlutut di tengah reruntuhan, merasakan beban penyesalan yang tak tertahankan. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menangis dalam keheningan pagi yang dingin. Tidak ada lagi yang tersisa, hanya senja yang suram menantinya, membawa kepergian yang penuh dengan penyesalan dan kesendirian.
Di akhir hidupnya, Raja Agung akhirnya memahami bahwa kekuasaan yang ia banggakan hanyalah sebuah fatamorgana. Semua yang pernah ia raih hilang dalam sekejap mata, meninggalkan dirinya terperangkap dalam kesepian yang tak berujung. Dan saat senja yang terakhir tiba, ia menyadari bahwa ia bukanlah raja yang agung, melainkan hanya seorang pria yang tersesat dalam kesombongan dan keserakahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H