Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. Editor, penulis dan pengelola Penerbit Bajawa Press. Melayani konsultasi penulisan buku.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rumah Baru di Tanah Lama

19 Agustus 2024   21:28 Diperbarui: 19 Agustus 2024   21:39 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Baru di Tanah Lama

Di sebuah rumah besar yang berdiri megah di tengah kota, keluarga Wawimosa telah tinggal selama beberapa generasi. Rumah itu, dengan dinding tebal, jendela-jendela besar, dan pilar-pilar kokoh, adalah peninggalan dari masa kolonial. Namun, kemegahan rumah itu tak mampu menutupi bayang-bayang gelap sejarah yang melingkupinya---kisah-kisah tentang darah dan air mata yang mengiringi pembangunannya, ketika nenek moyang mereka masih menjadi pelayan di bawah penjajahan.

Di tengah malam yang sunyi, ketika kota tertidur lelap, sebuah suara lantang memecah keheningan. Pak Wawimosa, kepala keluarga yang sudah mulai beruban, berdiri di tengah ruang tamu. Matanya merah, wajahnya tegang, dan suaranya bergetar penuh amarah.

"Kita harus pindah rumah!" teriaknya. Istrinya, Bu Manumetu, yang terbangun oleh kegaduhan itu, hanya bisa menatap suaminya dengan bingung. Anak-anak mereka yang sudah dewasa, Nono dan Meo, keluar dari kamar mereka, terpana melihat ayah mereka yang biasanya tenang, kini tampak seolah dikuasai oleh api yang tak terlihat.

"Ayah, kenapa tiba-tiba ingin pindah?" tanya Meo, mencoba menenangkan ayahnya.

Pak Wawimosa mengusap keningnya yang basah oleh keringat. "Rumah ini... rumah ini penuh dengan darah dan kesedihan. Ini rumah peninggalan kolonial! Sudah saatnya kita tinggalkan semua yang berbau kolonial. Mari kita bangun rumah baru di tanah milik kita sendiri. Rumah karya anak negeri!"

Malam itu, diskusi keluarga berubah menjadi perdebatan panas. Pak Wawimosa dengan tegas mengutarakan niatnya untuk meninggalkan rumah besar itu dan membangun yang baru, sepenuhnya karya lokal, di atas tanah yang telah ia beli dari seorang bangsawan yang kini bergelar "kaum berjouis." Rumah baru itu, katanya, akan menjadi simbol kemandirian, kebebasan dari bayang-bayang masa lalu.

Bu Manumetu, meskipun setuju dengan gagasan suaminya tentang kemandirian, merasa ada sesuatu yang tidak benar. "Tapi Pak, rumah ini sudah menjadi bagian dari hidup kita. Banyak kenangan yang telah kita buat di sini. Apakah kita harus membuang semua itu hanya karena sejarah yang kelam?"

Pak Wawimosa tetap pada pendiriannya. "Habis manis sepah dibuang, Bu. Kita tidak boleh terus-menerus terikat pada warisan kolonial. Sudah saatnya kita melangkah maju, meninggalkan semua yang berbau penjajahan."

Beberapa minggu kemudian, keluarga Wawimosa benar-benar pindah. Mereka meninggalkan rumah tua itu, bersama semua perabot antik yang terbuat dari kayu jati, lantai marmer yang dingin, dan taman yang dipenuhi bunga-bunga tropis yang dulu didatangkan oleh para penjajah. Mereka pindah ke rumah baru yang didirikan di atas lahan luas, rumah dengan desain modern minimalis yang katanya merupakan "karya anak negeri."

Sesuatu yang ganjil mulai terjadi setelah mereka pindah. Jalan raya menuju rumah baru mereka sering kali macet, padahal itu jalan yang mereka bangun dengan dana sendiri. Irigasi di sekitar lahan baru mereka juga sering tersumbat, menyebabkan banjir kecil di halaman rumah mereka. Dan lebih parah lagi, rel kereta api yang dulu sering digunakan untuk mengirim bahan bangunan ke lahan mereka tiba-tiba ditutup, dengan alasan "untuk membangun kembali yang lebih baik."

Kehidupan di rumah baru itu ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Masalah demi masalah muncul, mulai dari listrik yang sering padam hingga akses air yang terganggu. Nono yang bekerja sebagai arsitek di kota, mulai merasa jengkel dengan keputusan ayahnya. "Ayah, kenapa kita harus meninggalkan semua itu? Jalan raya, irigasi, rel kereta api---semua itu adalah infrastruktur yang sudah terbukti fungsinya. Mengapa kita harus meninggalkannya hanya karena alasan sejarah?"

Pak Wawimosa, yang awalnya sangat yakin dengan keputusannya, mulai merasa ragu. Namun, ego dan rasa malu membuatnya sulit untuk mengakui kesalahan. "Kita tidak boleh bergantung pada peninggalan kolonial, Nono. Ini tentang prinsip."

Namun, prinsip itu mulai terasa seperti beban. Semua kemudahan yang dulu dianggap remeh kini hilang, dan keluarga Wawimosa harus berjuang lebih keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Di tengah segala kekacauan itu, Bu Manumetu menemukan surat-surat lama di antara barang-barang yang belum dibongkar dari rumah tua mereka.

Surat-surat itu adalah korespondensi antara kakek buyut Pak Wawimosa dengan seorang arsitek Belanda, membahas pembangunan rumah besar di tengah kota. Dalam surat itu, kakek buyutnya berterima kasih kepada arsitek tersebut atas desain rumah yang kokoh dan nyaman, yang dikatakan akan menjadi tempat berlindung bagi keluarganya di masa depan. Surat-surat itu mengungkapkan rasa syukur yang mendalam, bukan hanya pada arsitek, tetapi juga pada peluang yang diberikan oleh pembangunan tersebut.

Bu Manumetu menunjukkan surat-surat itu kepada Pak Wawimosa. "Pak, mungkin kita terlalu terburu-buru. Peninggalan kolonial memang punya sejarah kelam, tapi bukan berarti semuanya buruk. Ada hal-hal yang telah menjadi bagian dari kita, dan kita harus belajar untuk berterima kasih atas apa yang telah kita terima, bukan hanya membuangnya begitu saja."

Pak Wawimosa termenung. Surat-surat itu membuka matanya bahwa sejarah bukan hanya tentang penindasan, tetapi juga tentang adaptasi dan penerimaan. Apa yang mereka tinggalkan bukan hanya peninggalan kolonial, tetapi juga bagian dari identitas mereka sebagai bangsa yang pernah melalui masa-masa sulit. Ada banyak penderitaan, pengorbanan, darah dan air mata yang menjadi fundasi, tiang, dinding, lantai dan atap rumah penderitaan itu. Maka, penyataan bahwa berpindah rumah karena tidak mau tergantung pada peninggalan kolonial itu pelecehan terhadap sejarah. Suatu arogansi dan kesombongan diri karena sudah merasa nyaman di atas penderitaan orang lain.

Dengan hati yang berat, Pak Wawimosa akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah tua mereka di kota. Keluarga Wawimosa pindah kembali, kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya menghargai sejarah, bukan sekadar menghakiminya. Mereka tidak lagi melihat rumah itu sebagai simbol penjajahan, tetapi sebagai bagian dari perjalanan panjang bangsa mereka.

Ketika mereka kembali, rumah besar itu menyambut mereka dengan hangat, seolah-olah tidak pernah ada yang berubah. Dan di sana, di tengah segala peninggalan kolonial itu, keluarga Wawimosa menemukan kenyamanan yang hilang---bukan karena rumah baru atau infrastruktur modern, tetapi karena mereka akhirnya mengerti bahwa masa lalu bukan untuk dilupakan, tetapi untuk dipahami dan dihargai, untuk dilestarikan semangat juangnya.

Di malam yang tenang, ketika angin lembut berhembus melalui jendela-jendela besar, Pak Wawimosa duduk di kursi kayu jati peninggalan kakeknya. Ia menatap langit malam dengan damai, menyadari bahwa rumah ini, dengan segala sejarahnya, adalah bagian dari siapa mereka sekarang---bukan sekadar peninggalan kolonial, tetapi juga warisan keluarga yang akan terus hidup dan memberi makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun