Sesuatu yang ganjil mulai terjadi setelah mereka pindah. Jalan raya menuju rumah baru mereka sering kali macet, padahal itu jalan yang mereka bangun dengan dana sendiri. Irigasi di sekitar lahan baru mereka juga sering tersumbat, menyebabkan banjir kecil di halaman rumah mereka. Dan lebih parah lagi, rel kereta api yang dulu sering digunakan untuk mengirim bahan bangunan ke lahan mereka tiba-tiba ditutup, dengan alasan "untuk membangun kembali yang lebih baik."
Kehidupan di rumah baru itu ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Masalah demi masalah muncul, mulai dari listrik yang sering padam hingga akses air yang terganggu. Nono yang bekerja sebagai arsitek di kota, mulai merasa jengkel dengan keputusan ayahnya. "Ayah, kenapa kita harus meninggalkan semua itu? Jalan raya, irigasi, rel kereta api---semua itu adalah infrastruktur yang sudah terbukti fungsinya. Mengapa kita harus meninggalkannya hanya karena alasan sejarah?"
Pak Wawimosa, yang awalnya sangat yakin dengan keputusannya, mulai merasa ragu. Namun, ego dan rasa malu membuatnya sulit untuk mengakui kesalahan. "Kita tidak boleh bergantung pada peninggalan kolonial, Nono. Ini tentang prinsip."
Namun, prinsip itu mulai terasa seperti beban. Semua kemudahan yang dulu dianggap remeh kini hilang, dan keluarga Wawimosa harus berjuang lebih keras hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Di tengah segala kekacauan itu, Bu Manumetu menemukan surat-surat lama di antara barang-barang yang belum dibongkar dari rumah tua mereka.
Surat-surat itu adalah korespondensi antara kakek buyut Pak Wawimosa dengan seorang arsitek Belanda, membahas pembangunan rumah besar di tengah kota. Dalam surat itu, kakek buyutnya berterima kasih kepada arsitek tersebut atas desain rumah yang kokoh dan nyaman, yang dikatakan akan menjadi tempat berlindung bagi keluarganya di masa depan. Surat-surat itu mengungkapkan rasa syukur yang mendalam, bukan hanya pada arsitek, tetapi juga pada peluang yang diberikan oleh pembangunan tersebut.
Bu Manumetu menunjukkan surat-surat itu kepada Pak Wawimosa. "Pak, mungkin kita terlalu terburu-buru. Peninggalan kolonial memang punya sejarah kelam, tapi bukan berarti semuanya buruk. Ada hal-hal yang telah menjadi bagian dari kita, dan kita harus belajar untuk berterima kasih atas apa yang telah kita terima, bukan hanya membuangnya begitu saja."
Pak Wawimosa termenung. Surat-surat itu membuka matanya bahwa sejarah bukan hanya tentang penindasan, tetapi juga tentang adaptasi dan penerimaan. Apa yang mereka tinggalkan bukan hanya peninggalan kolonial, tetapi juga bagian dari identitas mereka sebagai bangsa yang pernah melalui masa-masa sulit. Ada banyak penderitaan, pengorbanan, darah dan air mata yang menjadi fundasi, tiang, dinding, lantai dan atap rumah penderitaan itu. Maka, penyataan bahwa berpindah rumah karena tidak mau tergantung pada peninggalan kolonial itu pelecehan terhadap sejarah. Suatu arogansi dan kesombongan diri karena sudah merasa nyaman di atas penderitaan orang lain.
Dengan hati yang berat, Pak Wawimosa akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah tua mereka di kota. Keluarga Wawimosa pindah kembali, kali ini dengan pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya menghargai sejarah, bukan sekadar menghakiminya. Mereka tidak lagi melihat rumah itu sebagai simbol penjajahan, tetapi sebagai bagian dari perjalanan panjang bangsa mereka.
Ketika mereka kembali, rumah besar itu menyambut mereka dengan hangat, seolah-olah tidak pernah ada yang berubah. Dan di sana, di tengah segala peninggalan kolonial itu, keluarga Wawimosa menemukan kenyamanan yang hilang---bukan karena rumah baru atau infrastruktur modern, tetapi karena mereka akhirnya mengerti bahwa masa lalu bukan untuk dilupakan, tetapi untuk dipahami dan dihargai, untuk dilestarikan semangat juangnya.
Di malam yang tenang, ketika angin lembut berhembus melalui jendela-jendela besar, Pak Wawimosa duduk di kursi kayu jati peninggalan kakeknya. Ia menatap langit malam dengan damai, menyadari bahwa rumah ini, dengan segala sejarahnya, adalah bagian dari siapa mereka sekarang---bukan sekadar peninggalan kolonial, tetapi juga warisan keluarga yang akan terus hidup dan memberi makna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H