Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Di Ujung Negeri

19 Agustus 2024   17:38 Diperbarui: 19 Agustus 2024   17:38 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Ujung Negeri

Limalio berdiri di tepi pantai, matanya yang gelap menatap lautan yang membentang luas. Di kejauhan, sebuah kapal nelayan kecil bergoyang pelan, seakan melambai padanya. Hari ini adalah hari kemerdekaan Indonesia, namun bagi Limalio, kata "merdeka" hanyalah sebatas berita yang ia dengar dari desa tetangga atau dari siaran radio tua di rumahnya yang kadang-kadang menangkap sinyal. Di sini, di ujung negeri, kemerdekaan itu seperti bayang-bayang yang jauh dari jangkauan.

Pagi tadi, Limalio mencoba menghubungkan ponselnya yang sudah usang ke internet menggunakan sinyal yang lemah. Ia ingin melihat bagaimana bangsa besar ini merayakan hari jadinya yang ke-79. Setelah berjuang dengan sinyal yang putus-nyambung, akhirnya ia berhasil membuka YouTube dan menemukan siaran langsung upacara bendera di ibu kota. Pemandangan itu begitu kontras dengan kehidupannya: jalan raya yang mulus, gedung-gedung tinggi yang megah, dan orang-orang yang mengenakan pakaian rapi berbaris dengan penuh hormat di depan bendera merah putih yang berkibar gagah.

Sebuah suara dari speaker kecil di ponselnya terdengar, lantunan lagu kebangsaan mengiringi pengibaran bendera. Limalio menatap layar itu dengan campuran perasaan bangga dan perih. Betapa megahnya bangsa ini, pikirnya. Tapi kenapa di sini, di perbatasan selatan yang jauh dari pusat kekuasaan, kehidupan begitu sulit?

Limalio menengadah, menatap langit yang cerah. Tidak ada awan yang menggantung, hanya biru yang luas. Namun, di balik keindahan alam yang membingkai hidupnya, ada kenyataan pahit yang selalu menghantuinya. Desa tempat tinggalnya hanya memiliki satu sekolah dasar yang kondisinya memprihatinkan. Sekolah itu sering kekurangan guru, dan buku pelajaran yang mereka punya adalah buku-buku lama yang sudah robek dan lusuh. Ketika Limalio lulus dari sekolah dasar, ia tidak punya pilihan selain membantu orang tuanya di ladang. Pendidikan menengah terasa seperti mimpi yang terlalu mahal untuk diwujudkan.

Limalio menurunkan pandangannya ke tanah, ke jejak-jejak kakinya di pasir yang basah. Ia teringat percakapan terakhirnya dengan seorang temannya, Limawana, yang beberapa bulan lalu memutuskan untuk meninggalkan desa. Limawana bilang, "Kita tidak bisa terus hidup begini, Limalio. Di sini kita tidak punya masa depan. Aku akan mencoba peruntungan di kota, meski harus jadi buruh kasar."

Limalio mengerti perasaan temannya itu, tapi ia tidak bisa pergi. Ibunya yang sudah tua dan ayahnya yang sakit-sakitan membutuhkan bantuannya. Mereka hanya memiliki ladang kecil yang menghasilkan cukup makanan untuk bertahan hidup, dan itu pun harus dibagi dengan keluarga besarnya. Di sini, bertahan hidup sudah merupakan sebuah perjuangan.

Ketika ponselnya mulai menampilkan gambar yang terputus-putus karena sinyal yang melemah, Limalio akhirnya menutupnya. Ia berjalan kembali ke rumah, melewati jalan setapak yang dipenuhi batu dan kerikil. Di sepanjang perjalanan, ia bertemu dengan beberapa tetangganya yang juga sedang menatap layar ponsel, mencoba merasakan kebanggaan yang sama dengan apa yang dirasakan oleh orang-orang di ibu kota. Tapi Limalio tahu, dalam hati mereka, ada rasa kecewa yang sama seperti yang ia rasakan.

Di rumah, ibu Limalio sedang memasak ubi di tungku kayu. Bau asap yang keluar dari dapur menguar memenuhi ruangan. Ibu Limalio menatap anaknya dengan pandangan penuh kasih sayang namun juga kekhawatiran yang dalam.

"Bagaimana upacaranya, Lio?" tanya ibunya sambil tersenyum tipis.

"Bagus, Bu. Seperti biasa, meriah," jawab Limalio dengan nada yang dibuat-buat ceria.

Ibunya hanya mengangguk pelan, seakan sudah tahu bahwa ada sesuatu yang mengganjal di hati anaknya. "Semoga tahun depan, kita bisa merasakan kemerdekaan yang sebenarnya, ya, Nak," katanya dengan nada penuh harap.

Limalio mengangguk tanpa kata. Ia tahu apa yang ibunya maksudkan. Kemerdekaan yang diimpikan mereka bukanlah sekadar merdeka dari penjajahan, tetapi merdeka dari keterbelakangan, kemiskinan, dan ketidakadilan yang terasa begitu nyata di tempat ini.

Malamnya, setelah makan malam yang sederhana, Limalio duduk di depan rumah, menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan. Di tempat yang jauh dari cahaya lampu kota, bintang-bintang itu terlihat sangat jelas, seolah dekat dan bisa diraih. Tapi Limalio tahu, bintang-bintang itu sama jauhnya dengan impian-impian yang ada di hatinya.

Tiba-tiba, Limalio mendengar suara deru motor dari kejauhan. Suara itu semakin mendekat, hingga akhirnya berhenti di depan rumahnya. Limalio bangkit berdiri dan melihat seorang lelaki muda turun dari motor. Itu adalah Limawana, temannya yang sudah lama pergi ke kota.

(ilustrasi suasana desa yang sederhana dan kota yang glamour. dokpri: GemAIBOT)
(ilustrasi suasana desa yang sederhana dan kota yang glamour. dokpri: GemAIBOT)

"Limawana?" panggil Limalio, setengah tidak percaya.

"Ya, ini aku, Lio," jawab Limawana sambil tersenyum lelah. "Aku kembali."

Limalio mendekati temannya dan mereka saling berpelukan. Setelah saling bertukar kabar, Limawana menceritakan pengalamannya di kota. Ternyata, hidup di kota tidak semudah yang dibayangkannya. Di sana, Limawana hanya menjadi seorang buruh kasar yang dibayar dengan upah rendah. Ketika ia jatuh sakit, tidak ada yang peduli padanya. Akhirnya, dengan sisa uang yang ia punya, Limawana memutuskan untuk pulang.

"Di kota, aku merasa lebih terasing, Lio. Tidak ada yang benar-benar peduli. Aku merasa, di sini, meskipun serba kekurangan, setidaknya kita masih punya rasa kebersamaan," kata Limawana.

Limalio mengangguk. Ia bisa merasakan betapa sulitnya pilihan yang diambil temannya itu. Tapi ada satu hal yang membuat Limalio merasa sedikit lega, bahwa ia tidak sendiri dalam perasaannya. Bahwa meskipun berada di ujung negeri, di tempat yang sering dilupakan, mereka tetap punya sesuatu yang tidak bisa ditemukan di kota besar---kehangatan dan kebersamaan.

Limawana menatap langit malam yang dipenuhi bintang. "Limalio, aku tahu kita punya banyak mimpi, dan di sini mungkin kita merasa tertinggal. Tapi mungkin, di sinilah kita harus memperjuangkan mimpi-mimpi itu. Bukan dengan pergi, tapi dengan bertahan."

Kata-kata Limawana itu menggema di hati Limalio. Di perbatasan yang jauh ini, mereka mungkin tidak merasakan gemerlap kemerdekaan seperti di ibu kota, tetapi mereka punya kekuatan yang lebih besar---kekuatan untuk tetap bertahan dan memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Malam itu, di bawah langit berbintang, Limalio berjanji pada dirinya sendiri. Ia mungkin tidak bisa mengubah nasibnya secepat yang diinginkan, tapi ia tidak akan menyerah. Kemerdekaan yang ia impikan mungkin masih jauh, tapi selangkah demi selangkah, ia akan mencapainya. Bersama Limawana dan teman-teman lainnya, Limalio tahu bahwa perjuangan ini masih panjang, tetapi ia tidak akan berjalan sendiri. Di tempat yang jauh dari pusat perhatian, mereka akan menunjukkan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal mengibarkan bendera, tetapi juga tentang memperjuangkan masa depan yang lebih baik, di mana pun mereka berada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun