Kembali ke Leguderu
Dony duduk di kursi belakang angkutan umum yang membawanya dari kota menuju Leguderu. Angin sejuk pegunungan menyusup masuk dari jendela yang terbuka sedikit, membawa aroma khas tanah basah dan pepohonan pinus yang lebat. Desa Leguderu sudah lama tidak dikunjunginya. Dony tidak pernah menyangka bahwa keinginan untuk kembali ke desa tempatnya menghabiskan masa kecil akan begitu kuat di usia empat puluh delapan tahun ini. Kerinduan akan tempat itu begitu membuncah di dadanya.
Dalam benaknya, Dony memutar kembali film masa kecilnya. Masa-masa ketika ia bermain di bawah pohon beringin besar di dekat mata air tak jauh dari sekolahnya, berlari-larian di pematang sawah bersama teman-temannya, dan duduk di bangku sekolah dasar yang sederhana. Desa Leguderu memiliki tiga kampung utama: Nunukae, Legu, dan Natasule. Di sana, ia pertama kali merasakan kehangatan persahabatan, belajar mengenal alam, dan mendapatkan pelajaran hidup yang tidak pernah bisa ia lupakan.
Kendaraan berhenti di sebuah persimpangan, dan Dony turun dengan membawa tas punggung kecilnya. Ia berjalan perlahan menyusuri jalan setapak yang sudah sedikit berubah, meski masih dikenalnya dengan baik. Ia bisa melihat rumah-rumah tua yang dulu pernah menjadi tempat tinggal sahabat-sahabat kecilnya, meskipun sebagian besar sudah ditinggalkan dan dibiarkan lapuk oleh waktu.
Setiap langkah Dony membawa kembali kenangan lama. Ketika ia sampai di sebuah lapangan kecil yang dulu sering dijadikan tempat bermain bola, ia berhenti sejenak. Matanya tertuju pada pohon mangga besar yang masih kokoh berdiri di sisi timur lapangan. "Pohon ini tidak berubah," gumam Dony pelan. Bayangan wajah-wajah teman-temannya satu per satu melintas di benaknya. Wajah Polus yang selalu tersenyum lebar, Eno yang pandai memanjat pohon, dan Maria yang lembut namun selalu penuh semangat. Namun, yang paling membuat hatinya bergetar adalah bayangan wajah seorang gadis kecil bernama Dela, yang selalu menyimpan senyuman manis dan canda tawa.
Dony melanjutkan perjalanannya menuju sekolah dasar tempatnya dulu belajar. Taman sekolah yang dulu penuh dengan keceriaan anak-anak, kini tampak sunyi. Bangunan sekolah masih berdiri, namun ada yang berbeda; jendela-jendelanya sudah rapuh, dan cat dindingnya telah memudar. Tapi yang paling membuatnya terhenyak adalah pemandangan halaman sekolah. Di sana, berdiri seorang wanita tua, dengan rambut yang sudah memutih, mengenakan kebaya lusuh. Wanita itu duduk di bangku yang pernah menjadi tempat para guru mengawasi anak-anak bermain.
Dony mendekat dengan hati-hati. "Maaf, Bu... apakah Ibu pernah mengajar di sini?" tanyanya dengan nada sopan. Wanita tua itu mendongak perlahan. Matanya menatap Dony dengan sorot yang penuh kerinduan, seolah-olah ia sedang menunggu kedatangan seseorang.
"Kamu... Dony?" suara wanita itu bergetar. Dony terkejut. "Bagaimana Ibu bisa tahu?"
Wanita itu tersenyum tipis, dan matanya mulai berkaca-kaca. "Mana mungkin aku lupa murid kecilku yang selalu paling semangat di kelas? Aku ini Bu Nina."
Deg! Jantung Dony berdegup kencang. Bu Nina adalah guru kelas satu yang paling disayanginya. Wanita itu yang pertama kali mengajarinya membaca dan menulis. Tanpa pikir panjang, Dony meraih tangan Bu Nina dan menciumnya dengan penuh hormat. "Bu, aku merindukan Ibu dan semua yang ada di sini."