Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Horor

Bayang-bayang di Perbatasan

18 Agustus 2024   08:51 Diperbarui: 18 Agustus 2024   08:53 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayang-bayang di Perbatasan

Malam itu, angin bertiup kencang di desa kecil tempat Domi tinggal. Angin membawa suara-suara aneh yang menggema di antara pepohonan dan menggetarkan dinding rumah-rumah yang reyot. Desa ini berada di ujung selatan Indonesia, sebuah tempat yang seakan dilupakan oleh waktu dan pembangunan. Di sini, kegelapan malam terasa lebih pekat, dan kesunyian selalu menyimpan cerita-cerita yang membuat bulu kuduk berdiri.

Domi duduk sendirian di dalam rumahnya yang sederhana. Di tangannya, sebuah ponsel tua yang sinyalnya sering kali hilang timbul. Di layar kecil itu, ia menyaksikan upacara bendera peringatan kemerdekaan Indonesia dari ibu kota. Layar yang berkedip-kedip menampilkan gambar-gambar yang berusaha keras menyambungkan dirinya dengan kemeriahan yang terjadi ribuan kilometer jauhnya. Di sana, bendera merah putih berkibar gagah, diiringi oleh lagu kebangsaan yang terdengar nyaring, meski terputus-putus karena koneksi yang buruk.

Saat lagu "Indonesia Raya" berkumandang, ada perasaan dingin yang tiba-tiba merayap di punggung Domi. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Suara lagu itu terdengar aneh, seakan ada nada-nada sumbang yang bergema dari tempat yang sangat jauh, seperti sebuah rekaman tua yang diputar ulang di mesin gramofon usang. Domi menggelengkan kepala, berusaha mengusir rasa takut yang mulai merayap di hatinya.

"Sudah merdeka ya mereka," gumamnya pelan sambil menatap layar yang semakin kabur. Di desa ini, yang mereka rasakan hanyalah keterbelakangan. Jalan berlumpur yang nyaris tidak bisa dilalui kendaraan, satu-satunya puskesmas yang tidak punya dokter, dan sekolah yang hanya ada sampai tingkat dasar dengan isi hanya beberapa bangsu tanpa meja, papan tulis yang bolong-bolong, tanpa kapur dan penghapus serta dinding dari pelupu bambu yang sudah dimakan rayap. Hidup di sini seperti terjebak dalam lingkaran yang tidak pernah berubah.

Domi merasa semakin dingin. Ia melirik ke jendela yang terbuka, angin malam menggerakkan tirai tipis yang mulai usang. Di luar sana, kegelapan menyelimuti desa, hanya disinari oleh cahaya redup dari bulan sabit yang tersembunyi di balik awan. Sesuatu di luar sana seakan menunggu, mengintai, siap menyeruak ke dalam kehidupannya yang sunyi.

Tiba-tiba, layar ponsel Domi berubah menjadi hitam, lalu mati. Sinyal benar-benar hilang. Domi menghela napas panjang. Sudah biasa ia kehilangan koneksi di tengah-tengah sesuatu yang penting. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ia merasa seolah-olah ada yang memutuskan sambungan itu dengan sengaja, seakan sesuatu di luar sana tidak ingin ia menyaksikan upacara itu.

Ia berdiri, berniat untuk mematikan ponsel dan beristirahat. Namun, sebelum ia bisa melangkah ke tempat tidur, suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Domi tertegun. Jam sudah menunjukkan tengah malam, siapa yang datang di waktu seperti ini? Ragu-ragu, ia melangkah menuju pintu.

(dokpri: GemAIBOT)
(dokpri: GemAIBOT)

Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras. Domi menelan ludah, tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Ketika ia membukanya, tidak ada siapa pun di sana. Hanya kegelapan yang menyambutnya, dingin, dan hening.

Domi memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya. Mungkin itu hanya suara angin, pikirnya. Tapi ketika ia akan menutup pintu, ia melihat sesuatu dari sudut matanya---sekelebat bayangan di ujung jalan desa, berdiri di bawah pohon besar yang tumbuh di tepi jalan.

Ia mengernyitkan dahi, mencoba memastikan apa yang dilihatnya. Bayangan itu tinggi, tubuhnya kurus, hampir tak berbentuk. Domi merasa dadanya berdegup kencang, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Ia melangkah keluar, berjalan perlahan mendekati pohon besar itu.

Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seolah-olah udara di sekitarnya menebal, menekan setiap inci tubuhnya. Bayangan itu tidak bergerak, hanya berdiri diam. Ketika Domi semakin dekat, ia bisa melihat lebih jelas---bayangan itu menyerupai seorang manusia, namun ada yang tidak wajar. Tubuhnya seolah terbungkus dalam kain yang compang-camping, wajahnya samar, hanya terlihat sepasang mata kosong yang menatap lurus ke arah Domi.

Domi merasakan bulu kuduknya berdiri. Ada sesuatu yang jahat dalam sosok itu, sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Ia ingin berbalik dan lari, tetapi kakinya terasa terpaku di tempat. Suara-suara aneh mulai terdengar dari segala penjuru, bisikan-bisikan yang tidak bisa dimengerti, seakan angin malam membawa suara-suara dari masa lalu yang penuh penderitaan.

"Kenapa kau datang ke sini?" suara itu akhirnya terdengar, berat dan serak, seolah berasal dari dalam tanah. Suara itu tidak keluar dari mulut bayangan itu, tetapi terdengar di dalam kepala Domi, memaksa dirinya untuk mendengarnya.

Domi membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar. Ia tidak tahu bagaimana menjawab, rasa takutnya mengunci semua kata yang ingin ia ucapkan.

"Kami... masih di sini... menunggu kemerdekaan yang sebenarnya..." suara itu melanjutkan, dan tiba-tiba bayangan itu bergerak, mendekat dengan kecepatan yang tidak wajar, melesat seperti angin ke arah Domi.

Domi menjerit dan berbalik lari, sekuat tenaga menuju rumahnya. Kakinya terasa berat, seolah-olah tanah di bawahnya mencoba menariknya kembali. Namun, ketakutannya memberinya kekuatan untuk terus berlari. Ia bisa merasakan kehadiran bayangan itu tepat di belakangnya, udara di sekitarnya semakin dingin, napasnya terengah-engah.

Sesampainya di depan rumah, Domi menutup pintu dengan keras dan menguncinya. Ia tersandar di pintu, terengah-engah, mendengarkan dengan cemas. Di luar, suara ketukan kembali terdengar, kali ini lebih keras dan berirama, seolah-olah bayangan itu tidak akan berhenti sampai Domi membukanya kembali.

Namun, Domi tidak mau membuka pintu. Ia tahu, sesuatu yang mengerikan akan terjadi jika ia melakukannya. Matanya mulai menatap sekeliling, mencari sesuatu untuk bertahan. Saat itulah ia melihat cermin tua di sudut ruangan, yang memantulkan bayangan dirinya yang penuh ketakutan.

(dokpri: GemAIBOT)
(dokpri: GemAIBOT)

Tiba-tiba, cermin itu mulai bergetar. Gambar dirinya di cermin berubah, perlahan, menjadi sesuatu yang lain---sosok bayangan yang ia lihat di bawah pohon besar tadi. Mata kosong itu kembali menatapnya, dari dalam cermin, seakan ingin merasuki dirinya.

"Domi..." suara itu memanggil dari dalam cermin, "Kau tidak bisa lari. Kami adalah mereka yang terlupakan. Mereka yang tidak pernah benar-benar merdeka."

Cermin itu pecah, serpihan kaca berhamburan di lantai, tetapi bayangan itu tetap ada, menyebar seperti kabut gelap di dalam ruangan. Domi merasa lemas, kakinya gemetar, ia jatuh berlutut di lantai, tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Dalam kepanikan, Domi teringat sesuatu yang pernah diceritakan oleh orang tuanya---tentang roh-roh yang tidak pernah tenang, yang masih mencari tempat di dunia ini, yang menunggu untuk diakui keberadaannya. Mungkin bayangan ini adalah mereka, jiwa-jiwa yang terjebak di perbatasan, yang merindukan kemerdekaan yang sejati.

Dengan sisa-sisa keberanian yang ia punya, Domi mencoba untuk berbicara. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara bergetar.

Bayangan itu, yang kini memenuhi ruangan, berhenti bergerak. Sejenak, keheningan kembali menyelimuti. Lalu, suara itu menjawab, "Kami hanya ingin diingat. Kami ingin kemerdekaan yang sama, seperti yang kalian rayakan. Jangan lupakan kami."

Domi merasa matanya basah, hatinya penuh dengan rasa iba dan takut yang bercampur aduk. Ia tidak tahu bagaimana cara membantu mereka, tetapi ia tahu, ia tidak bisa mengabaikan mereka lagi.

Saat bayangan itu perlahan memudar, Domi mendengar satu bisikan terakhir, "Jangan biarkan kami terlupakan..."

Malam itu, Domi tidak bisa tidur. Ia duduk di sudut ruangan, memandangi serpihan kaca di lantai. Di luar, angin masih berhembus, tetapi tidak ada lagi suara ketukan di pintu. Bayangan itu telah pergi, tetapi pesannya tetap tinggal di hati Domi---sebuah peringatan bahwa kemerdekaan yang sebenarnya tidak hanya tentang kebebasan dari penjajahan, tetapi juga tentang kebebasan dari keterbelakangan, kesengsaraan, dan keputusasaan yang masih menghantui mereka yang berada di perbatasan.

Dan Domi tahu, bahwa mulai sekarang, ia harus melakukan sesuatu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun