"Domi..." suara itu memanggil dari dalam cermin, "Kau tidak bisa lari. Kami adalah mereka yang terlupakan. Mereka yang tidak pernah benar-benar merdeka."
Cermin itu pecah, serpihan kaca berhamburan di lantai, tetapi bayangan itu tetap ada, menyebar seperti kabut gelap di dalam ruangan. Domi merasa lemas, kakinya gemetar, ia jatuh berlutut di lantai, tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Dalam kepanikan, Domi teringat sesuatu yang pernah diceritakan oleh orang tuanya---tentang roh-roh yang tidak pernah tenang, yang masih mencari tempat di dunia ini, yang menunggu untuk diakui keberadaannya. Mungkin bayangan ini adalah mereka, jiwa-jiwa yang terjebak di perbatasan, yang merindukan kemerdekaan yang sejati.
Dengan sisa-sisa keberanian yang ia punya, Domi mencoba untuk berbicara. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan suara bergetar.
Bayangan itu, yang kini memenuhi ruangan, berhenti bergerak. Sejenak, keheningan kembali menyelimuti. Lalu, suara itu menjawab, "Kami hanya ingin diingat. Kami ingin kemerdekaan yang sama, seperti yang kalian rayakan. Jangan lupakan kami."
Domi merasa matanya basah, hatinya penuh dengan rasa iba dan takut yang bercampur aduk. Ia tidak tahu bagaimana cara membantu mereka, tetapi ia tahu, ia tidak bisa mengabaikan mereka lagi.
Saat bayangan itu perlahan memudar, Domi mendengar satu bisikan terakhir, "Jangan biarkan kami terlupakan..."
Malam itu, Domi tidak bisa tidur. Ia duduk di sudut ruangan, memandangi serpihan kaca di lantai. Di luar, angin masih berhembus, tetapi tidak ada lagi suara ketukan di pintu. Bayangan itu telah pergi, tetapi pesannya tetap tinggal di hati Domi---sebuah peringatan bahwa kemerdekaan yang sebenarnya tidak hanya tentang kebebasan dari penjajahan, tetapi juga tentang kebebasan dari keterbelakangan, kesengsaraan, dan keputusasaan yang masih menghantui mereka yang berada di perbatasan.
Dan Domi tahu, bahwa mulai sekarang, ia harus melakukan sesuatu.