Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kopi di Malam 17 Agustus

17 Agustus 2024   22:22 Diperbarui: 17 Agustus 2024   22:26 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat, dari segi finansial, puisi ini hendak mengkritik pengeluaran besar yang digunakan untuk seremoni perayaan, yang dianggap tidak proporsional dengan kondisi ekonomi rakyat. Alokasi anggaran negara yang besar untuk kegiatan simbolis seperti ini bisa dipertanyakan, terutama ketika banyak rakyat masih mengalami kesulitan ekonomi. Menurut ekonom Joseph Stiglitz, pengeluaran negara harus diarahkan untuk investasi yang memberikan dampak jangka panjang bagi kesejahteraan masyarakat, bukan untuk kegiatan yang hanya bersifat sementara dan tidak menyentuh akar permasalahan sosial. Apalagi hanya untuk menunjukkan "kebesaran" negara yang bisa lepas dari peninggalan kolonial dengan menikmati hasil karya anak bangsa.

Kelima, dari perspektif spiritual, melalui puisi ini saya mengajak kita merenungkan makna sejati dari kemerdekaan dalam konteks nilai-nilai rohani. Kemerdekaan bukan hanya tentang kebebasan fisik dari penjajahan, tetapi juga tentang kebebasan batiniah---membebaskan diri dari egoisme, keserakahan, dan ketidakpedulian terhadap sesama. Dalam tradisi spiritual, kemerdekaan sejati dicapai ketika seseorang hidup dalam harmoni dengan nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. Menurut pandangan spiritual seperti yang diajarkan oleh Mahatma Gandhi, kemerdekaan sejati adalah ketika setiap individu dan bangsa hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan spiritual yang mendalam, di mana perayaan kemerdekaan seharusnya mencerminkan rasa syukur dan tanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan seluruh rakyat, bukan sekadar seremoni yang megah.

Keenam, pesan utama yang ingin disampaikan oleh puisi ini adalah pertanyaan kritis tentang makna perayaan kemerdekaan di tengah realitas sosial yang ada. Apakah pesta dan seremoni yang megah benar-benar mencerminkan makna kemerdekaan? Atau justru memperlihatkan adanya ketimpangan yang semakin nyata? Menurut filsuf politik John Rawls, keadilan sosial seharusnya menjadi prioritas dalam setiap keputusan yang diambil oleh negara, termasuk dalam hal bagaimana cara merayakan kemerdekaan. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali esensi dari kemerdekaan, dan bagaimana kita seharusnya memaknainya dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Kebanggaan sebagai bangsa itu perlu. Tapi perlu ditempatkan pada porsi dan tempat yang tepat sehingga tidak "mencekik" leher kita sendiri kala adagium lebih besar pasak daripada tiang menjadi nyata berkaitan dengan anggaran. Alangkah lebih bijak, dana puluhan miliaran diinvestasikan pada dunia pendidikan dengan lebih memperhatikan kesejahteraan tenaga pendidik di segala lapisan dan jenjang. Bukan semata-mata soal numerasi gaji, tetapi soal kehadiran negara terhadap seluruh mata rantai pencerdasan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun