Cinta dari Kampung Belumada
Hari itu, udara Kampung Belumada terasa begitu berbeda. Biasanya, setiap tanggal 17 Agustus, dengungan suara gendang dan teriakan semangat para pemuda memenuhi udara. Namun kali ini, hening. Tidak ada suara gendang, tidak ada suara teriakan merdeka, hanya ada suara hening yang menggantikan semuanya.
Polisi dari kantor Polsek terdekat datang setelah menerima laporan bahwa kampung tersebut tidak mengadakan upacara peringatan kemerdekaan. Dengan seragam coklatnya, polisi itu berjalan perlahan memasuki kampung. Dia melihat sekeliling, mencoba mencari petunjuk tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Kenapa kalian tidak mengadakan upacara peringatan kemerdekaan?" tanya polisi itu kepada salah seorang penduduk kampung.
Penduduk itu, seorang pria tua berkulit hitam legam dengan rambut yang sudah memutih, menatap polisi dengan tatapan kosong. "Kami belum merdeka, pak," jawabnya singkat.
Polisi itu terkejut mendengar jawaban pria tua itu. "Bagaimana maksudmu belum merdeka? Kita sudah merdeka sejak tahun 1945," kata polisi itu mencoba menjelaskan.
"Benar, pak. Tapi lihat saja kampung kami. Kami tidak punya sekolah, tidak punya listrik, tidak punya puskesmas, tidak punya jalan. Lalu kami disuruh untuk merayakan kemerdekaan meski kami belum merasa merdeka?" kata pria tua itu dengan nada suara yang penuh pengharapan.
Polisi itu terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Dia merasa sedih melihat kondisi kampung tersebut. Dia merasa sedih melihat pria tua itu dengan matanya yang berkaca-kaca.
Kemudian, polisi itu berjalan keluar dari kampung itu dengan hati yang berat. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan membantu kampung itu. Dia akan berjuang untuk mereka.
Hari berikutnya, polisi itu kembali ke kampung itu. Tetapi kali ini, dia tidak datang sendiri. Dia datang bersama rombongan dari pemerintah. Mereka membawa bantuan berupa bahan bangunan, generator listrik, dan tenaga medis.
Pria tua itu, yang semula menatap polisi dengan tatapan kosong, kini menatapnya dengan tatapan penuh harapan. Dia berdiri di depan rumahnya, menyambut kedatangan polisi dan rombongan pemerintah dengan senyum lebar.
"Kami akan membangun sekolah dan puskesmas di sini. Kami juga akan membangun jalan dan memberikan listrik untuk kampung ini," kata polisi itu.
Pria tua itu menatap polisi dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, pak," kata pria tua itu. Dia tidak bisa berkata-kata lagi. Dia hanya bisa menangis bahagia.
Polisi itu tersenyum. Dia merasa bahagia bisa membantu. Dia merasa bahagia karena kampung itu akhirnya merasa merdeka.
Dan di hari kemerdekaan berikutnya, Kampung Belumada merayakannya dengan penuh sukacita. Mereka merasa merdeka, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara mental dan emosional. Dan polisi itu, dia merasa bahagia. Dia merasa berhasil membantu mereka merasakan kemerdekaan yang sebenarnya. Dia merasa berhasil membawa perubahan. Dan itu adalah kejutan terbesar bagi dirinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI