Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Detik-detik Proklamasi

16 Agustus 2024   13:21 Diperbarui: 16 Agustus 2024   13:27 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(trenggalekpedia.pikiran-rakyat.com)

Detik-detik Proklamasi

Suara gemuruh di luar rumah semakin kencang. Malam itu, angin dari timur berembus tajam, seolah membawa berita penting yang akan mengubah nasib bangsa. Sukarni, pemuda dengan mata menyala penuh semangat, melangkah cepat menuju ruang tengah, di mana Soekarno dan Hatta duduk bersama beberapa tokoh penting lainnya. Wajah mereka tegang, masing-masing memikirkan keputusan yang harus diambil dalam waktu singkat.

Sukarni tak bisa lagi menahan rasa gelisah yang membara di dadanya. "Bung Karno, kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi!" suaranya penuh desakan. "Jepang sudah kalah. Ini saatnya kita berdiri tegak dan memproklamasikan kemerdekaan! Tidak ada alasan untuk menunggu restu dari mereka yang sudah tak berdaya."

Soekarno menatap pemuda itu dengan mata tenang, tetapi di dalam hatinya ada pergolakan. Sebagai pemimpin yang bijaksana, ia memahami betul arti dari setiap tindakan yang diambil. "Sukarni, kita harus hati-hati. Proklamasi ini bukan hanya soal kata-kata, tetapi soal nasib jutaan jiwa. Apakah kita sudah benar-benar siap?"

"Siap atau tidak, kita harus melakukannya sekarang," tegas Sukarni. "Bangsa ini sudah lama merindukan kebebasan. Apakah Bung ingin melihat kesempatan ini hilang begitu saja karena kita ragu-ragu?"

Hatta, yang sejak tadi diam, kini angkat bicara. "Proklamasi memang harus dilakukan, Sukarni. Tapi ingat, kita bukan hanya harus memproklamasikan kemerdekaan, kita harus memastikan bangsa ini siap mempertahankan kemerdekaan itu. Bagaimana jika Jepang, meski sudah kalah, masih berusaha menguasai kita? Atau bagaimana jika sekutu datang dan mengambil alih kekuasaan?"

Sukarni menggeleng. "Bung Hatta, kita sudah terlalu lama berada di bawah bayang-bayang kekuasaan asing. Inilah saatnya kita percaya pada kekuatan kita sendiri. Rakyat akan mendukung kita. Dan lebih dari itu, kita punya Tuhan yang akan memberkati perjuangan kita. Ini adalah takdir kita!"

Malam semakin larut, dan ketegangan semakin terasa. Para pemuda di luar rumah sudah mulai tidak sabar. Mereka ingin segera mendengar kabar bahwa kemerdekaan telah diproklamasikan. Sementara itu, di dalam, dialog antara generasi muda dan tua terus berlangsung, menciptakan sebuah drama yang akan menentukan masa depan bangsa.

Soekarno berdiri dari kursinya, lalu menatap Hatta dan Sukarni. "Saya mengerti kekhawatiran kalian berdua. Namun, saya juga merasakan api semangat di dalam dada kalian, terutama kalian, kaum muda. Semangat yang sama seperti yang saya rasakan ketika pertama kali berjuang untuk kemerdekaan ini."

Dia menarik napas panjang, seolah sedang mencari kekuatan dari setiap molekul udara yang dihirupnya. "Sejak awal, saya percaya bahwa kemerdekaan ini adalah hak kita. Dan saya percaya bahwa Tuhan ada di pihak kita. Tetapi, saya juga harus memastikan bahwa ketika kita mengumumkan kemerdekaan ini, kita sudah siap menghadapinya, apa pun yang terjadi."

Mata Sukarni berkobar. "Kami siap, Bung Karno! Apa pun yang terjadi, kami akan berjuang sampai titik darah penghabisan!"

Soekarno tersenyum tipis. "Sukarni, keberanianmu mengingatkan saya pada semangat para pejuang yang telah gugur. Semangat yang tidak akan pernah padam, meski raga mereka telah kembali ke tanah. Jika memang ini kehendak Tuhan, maka kita tidak boleh lagi ragu."

Tiba-tiba, seorang pemuda lain masuk ke dalam ruangan. Dia tampak cemas, tetapi ada keyakinan di matanya. "Bung Karno, kami tidak bisa lagi menunggu. Kami telah membawa Bung ke sini agar kita bisa segera memproklamasikan kemerdekaan. Jangan biarkan harapan ini padam!"

Soekarno memandang pemuda itu dengan penuh pengertian. "Baiklah, jika memang ini kehendak rakyat dan kehendak Tuhan, kita akan melakukannya. Tapi ingat, ini bukan hanya soal kita yang memproklamasikan, ini tentang kita yang harus mempertahankan apa yang kita proklamasikan."

Hatta mengangguk setuju. "Kita harus memastikan bahwa apa yang kita lakukan ini adalah yang terbaik untuk bangsa. Dan jika kita sudah yakin, maka kita tidak akan mundur. Kita akan maju dengan doa dan keyakinan bahwa Tuhan akan memberkati perjuangan ini."

Sukarni menatap Soekarno dengan mata penuh harap. "Terima kasih, Bung Karno. Kami akan mendukung Bung sampai akhir."

Soekarno tersenyum penuh kebanggaan pada pemuda-pemuda di hadapannya. "Baiklah, mari kita lakukan ini bersama-sama. Kita akan memproklamasikan kemerdekaan bangsa kita, dan kita akan siap menghadapi apa pun yang akan terjadi setelahnya."

(sejarah-peristiwa-rengasdengklok-jelang-kemerdekaan-ri-1945-soekarno-marah-golongan-muda, dokumen: manado.tribunnews.com)
(sejarah-peristiwa-rengasdengklok-jelang-kemerdekaan-ri-1945-soekarno-marah-golongan-muda, dokumen: manado.tribunnews.com)

***

Malam itu, di sebuah rumah sederhana di Jalan Pegangsaan Timur 56, sejarah mulai dituliskan. Di luar, malam semakin sunyi, tetapi di dalam rumah, suasana tegang, penuh harapan dan doa, bercampur menjadi satu. Soekarno dan Hatta mempersiapkan teks proklamasi dengan hati-hati, menuliskan kata-kata yang akan menjadi titik balik dalam sejarah bangsa.

Ketika teks selesai ditulis, Soekarno berdiri di hadapan para pemuda yang telah mengelilinginya. Mereka semua tampak siap, mata mereka penuh dengan harapan dan keberanian. "Esok pagi, kita akan mengumumkan kemerdekaan kita. Dan ingat, ini bukan hanya soal kata-kata, ini tentang tanggung jawab besar yang harus kita pikul bersama."

"Jangan khawatir, Bung Karno," jawab Sukarni dengan tegas. "Kami siap. Dan kami percaya, dengan berkat Tuhan, kita akan berhasil."

Soekarno mengangguk. Dia merasakan keyakinan yang sama. Malam itu, mereka semua berdoa bersama, memohon kekuatan dan petunjuk dari Tuhan untuk perjuangan besar yang akan mereka mulai.

Ketika fajar mulai menyingsing, matahari seolah menyinari jalan baru yang terbentang di depan mereka. Di halaman rumah itu, Soekarno dan Hatta berdiri di hadapan rakyat yang telah berkumpul, menunggu dengan penuh antusias. Suara hati mereka menyatu dengan doa yang terucap dalam hati.

"Saudara-saudara sekalian," suara Soekarno menggelegar, penuh wibawa dan keyakinan. "Dengan ini, kami bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya."

Suara proklamasi itu menggetarkan setiap jiwa yang mendengarnya. Air mata haru bercucuran, doa-doa dipanjatkan, dan harapan bangsa kini mengangkasa. Kemerdekaan bukan lagi sekadar mimpi, melainkan kenyataan yang harus dipertahankan dengan segenap jiwa dan raga.

Dalam hati mereka, para pemuda itu tahu bahwa perjuangan baru saja dimulai. Tetapi dengan semangat yang menyala dan keyakinan pada berkat Tuhan, mereka siap menghadapi apa pun yang datang. Dan dengan begitu, bangsa Indonesia memasuki babak baru dalam sejarahnya, dengan sebuah tekad yang tak tergoyahkan: merdeka atau mati!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun