Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Musim Koncoisme dan Keluargaisme

18 Juli 2024   21:16 Diperbarui: 18 Juli 2024   21:16 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MUSIM KONCOISME DAN KELUARGAIME 

Fenomena koncoisme dan keluargaisme dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia menjadi semakin nyata dan meresahkan. Setiap kali pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah berlangsung, kita sering melihat bahwa kandidat yang tampil berasal dari keluarga-keluarga yang sudah lama berkecimpung dalam politik nasional atau daerah. Hal ini menunjukkan bahwa politik di Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elite politik yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar. Ketika posisi kepala daerah hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki koneksi keluarga atau kedekatan dengan petinggi politik, maka demokrasi yang sejati tidak tercapai, meritokrasi tak dikenal lagi dalam sistem yang model ini. Situasi ini menciptakan eksklusivitas dalam pengisian jabatan publik, di mana masyarakat umum yang mungkin memiliki kapabilitas dan integritas justru tersingkirkan karena tidak memiliki koneksi yang memadai.

Selain menciptakan ketidakadilan, praktik koncoisme dan keluargaisme juga berpotensi menurunkan kualitas kepemimpinan daerah. Kepala daerah yang terpilih bukan karena kompetensinya, melainkan karena hubungan keluarga atau kedekatan politik, cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan publik. Ini dapat menyebabkan pengelolaan daerah yang kurang efektif dan korupsi yang lebih merajalela. 

Akibatnya, pembangunan daerah menjadi terhambat dan kesejahteraan masyarakat pun tidak terwujud. Fenomena ini, meskipun terlihat lumrah, sesungguhnya tidaklah sehat bagi perkembangan demokrasi dan pemerintahan yang bersih di Indonesia. 

Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mengurangi praktik koncoisme dan keluargaisme, agar pemilihan kepala daerah benar-benar mencerminkan suara rakyat dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas serta berintegritas.

Berhadapan dengan fenomena yang subur seperti cendawan di musim hujan ini, saya coba gambarkannya dalam sebuah metafora berupa puisi kopi selepas senja berikut ini:

(sumber: ciremaitoday.com)
(sumber: ciremaitoday.com)

Kopi Selepas Senja (2)

Selepas senja, kopi menghangat di tangan,
Melihat terang-terangan di panggung kelabu,
Kolusi dan nepotisme tanpa malu,
Satu keluarga bergilir porsi, tak kenal batasan.

Pesta warisan, kursi jabatan jadi rebutan,
Di negeri ini, harta tak lagi materi,
Berubah kuasa yang diwariskan,
Seolah tiada orang lain di luar lingkaran itu.

Enaknya jadi pejabat, warisan tak kenal henti,
Seperti harta yang berpindah generasi,
Seakan negeri ini hanya milik segelintir,
Selepas senja, kopi pahit, kenyataan yang getir.

(sumber: dribbble.com)
(sumber: dribbble.com)

Melalui Puisi "Kopi Selepas Senja" ini penulis berusaha memperlihatkan fenomena koncoisme dan keluargaisme dalam perpolitikan di Indonesia sejak masa reformasi. Melalui metafora kopi yang menghangat selepas senja, kita melihat betapa terbuka dan terang-terangannya praktik kolusi dan nepotisme di kalangan pejabat publik. 

Fenomena ini menciptakan situasi yang secara kasat mata memperlihatkan bahwa jabatan publik seakan menjadi hak milik keluarga tertentu, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya tanpa memedulikan kompetensi dan integritas.

Bait kedua penulis berusaha menyoroti pesta warisan kekuasaan yang diambil alih oleh keluarga-keluarga pejabat (yang semakin ke sini semakin marak setiap kali pemilihan kepala daerah atau pemilihan anggota legistalif, dari ayah ke anaknya atau dari suami kepada istrinya. 

Dan semua itu dianggap lumrah karena merasa didukung dan dipilih oleh rakyat). Kursi jabatan, yang seharusnya diisi berdasarkan kemampuan dan dedikasi terhadap pelayanan publik, malah menjadi rebutan dan diwariskan seperti harta benda. 

Hal ini memperlihatkan bagaimana kuasa politik telah berubah menjadi barang dagangan yang berpindah tangan di dalam lingkaran keluarga pejabat, seakan-akan jabatan publik tidak lain adalah warisan yang harus dijaga dan dipertahankan oleh mereka. Ya, selama rakyat terus memilih pejabat yang demikian, selama itu pula praktek koncoisme dan keluargaisme terjadi. Jika keduanya sudah terbentuk, disadari atau tidak korupsi pun akan ikutan bertumbuh subur.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap posisi penting di pemerintahan, tetapi juga mengancam prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar dalam pengisian jabatan publik. Dengan adanya koncoisme dan keluargaisme, kesempatan bagi individu yang berkompeten dan berintegritas menjadi tertutup. Hal ini tentu berimbas pada kualitas pelayanan publik dan pemerintahan yang cenderung diwarnai oleh kepentingan pribadi dan keluarga daripada kepentingan umum.

Lalu pada bait terakhir, penulis berusaha menggambarkan realitas pahit dari politik warisan di Indonesia, di mana kekuasaan tidak lagi dipegang berdasarkan merit (kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi) tetapi diwariskan seperti harta benda, berdasarkan popularitas dan daya tarik bukan daya kerja. 

Penulis berusaha mengajak kita untuk merenungkan kembali nilai-nilai keadilan, transparansi, dan akuntabilitas dalam perpolitikan kita, serta pentingnya memastikan bahwa jabatan publik diisi oleh mereka yang benar-benar layak dan berdedikasi untuk kepentingan bersama, bukan semata-mata karena mereka adalah bagian dari keluarga pejabat.

(sumber:depoknetwork.com)
(sumber:depoknetwork.com)

Mari meneguk kopi, bukan racun pembodohan berupa "ah lu lagi, lu lagi" yang dilestarikan dalam perpolitikan nasional atau daerah. Jika kita mendukung transparansi dan sistem merit (yang tidak hanya berlaku untuk ASN tetapi pejabat politik juga), maka mari kita lawan adanya koncoisme dan keluargaisme dalam perpolitikan nasional atau daerah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun