MUSIM KONCOISME DAN KELUARGAIMEÂ
Fenomena koncoisme dan keluargaisme dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia menjadi semakin nyata dan meresahkan. Setiap kali pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah berlangsung, kita sering melihat bahwa kandidat yang tampil berasal dari keluarga-keluarga yang sudah lama berkecimpung dalam politik nasional atau daerah. Hal ini menunjukkan bahwa politik di Indonesia masih dikuasai oleh segelintir elite politik yang memiliki kekuasaan dan pengaruh besar. Ketika posisi kepala daerah hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki koneksi keluarga atau kedekatan dengan petinggi politik, maka demokrasi yang sejati tidak tercapai, meritokrasi tak dikenal lagi dalam sistem yang model ini. Situasi ini menciptakan eksklusivitas dalam pengisian jabatan publik, di mana masyarakat umum yang mungkin memiliki kapabilitas dan integritas justru tersingkirkan karena tidak memiliki koneksi yang memadai.
Selain menciptakan ketidakadilan, praktik koncoisme dan keluargaisme juga berpotensi menurunkan kualitas kepemimpinan daerah. Kepala daerah yang terpilih bukan karena kompetensinya, melainkan karena hubungan keluarga atau kedekatan politik, cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan publik. Ini dapat menyebabkan pengelolaan daerah yang kurang efektif dan korupsi yang lebih merajalela.Â
Akibatnya, pembangunan daerah menjadi terhambat dan kesejahteraan masyarakat pun tidak terwujud. Fenomena ini, meskipun terlihat lumrah, sesungguhnya tidaklah sehat bagi perkembangan demokrasi dan pemerintahan yang bersih di Indonesia.Â
Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mengurangi praktik koncoisme dan keluargaisme, agar pemilihan kepala daerah benar-benar mencerminkan suara rakyat dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas serta berintegritas.
Berhadapan dengan fenomena yang subur seperti cendawan di musim hujan ini, saya coba gambarkannya dalam sebuah metafora berupa puisi kopi selepas senja berikut ini:
Kopi Selepas Senja (2)
Selepas senja, kopi menghangat di tangan,
Melihat terang-terangan di panggung kelabu,
Kolusi dan nepotisme tanpa malu,
Satu keluarga bergilir porsi, tak kenal batasan.
Pesta warisan, kursi jabatan jadi rebutan,
Di negeri ini, harta tak lagi materi,
Berubah kuasa yang diwariskan,
Seolah tiada orang lain di luar lingkaran itu.
Enaknya jadi pejabat, warisan tak kenal henti,
Seperti harta yang berpindah generasi,
Seakan negeri ini hanya milik segelintir,
Selepas senja, kopi pahit, kenyataan yang getir.