MENGASAH KEPEKAAN LEWAT PUISI MELEWATI NGARAI PERBUKUAN
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Berikut saya akan membagikan kembali sebuah proses kreatif yang pernah saya jalani dari awal mula mengenal dan menyukai tulis menulis hingga sekarang menjadi "ladang" saya mencari sumber rezeki agar menjamin "ruang tengah" kehidupan keluarga kecilku. Proses kreatif ini ikut mewarnai sebuah buku yang ditulis bersama dalam sebuah pelatihan dengan saya sebagai editornya. Semoga menginspirasi.Â
Berawal dari Puisi
Minat awal saya adalah menulis puisi. Sejak kelas 1 SMA saya sudah mulai menulis Puisi. Namun proses sampai bisa menulis puisi sudah lama sebelumnya. Sejak kelas 2 SD saya sudah senang membaca majalah KUNANGKUNANG, sebuah majalah anak-anak terbitan ArnoldusEnde. Majalah ini datang bersamaan dengan Mingguan DIAN yang juga milik para imam SVD dan diterbitkan di percetakan Arnoldus. Kegemaran membaca ini telah membantu saya untuk menyerap banyak kosa kata, lalu berlatih untuk merangkai-rangkai kata menjadi sebuah puisi.
Keberanian untuk menulis puisi baru terjadi saat sekolah di Seminari mulai tahun 1990. Dengan dukungan perpustakaan dan suasana yang memungkinkan saya untuk berekspresi, saya mulai menulis puisi dengan aneka tema. Saya ingat tema pertama yang saya tulis adalah tentang Bukit Sasa yang dingin (bukit di dekat Seminari). Isi persisnya sudah lupa karena sudah dua puluhan tahun silam. Ada juga tema sosial politik yang pernah saya bacakan sendiri dalam acara malam kebangsaan di depan para pejabat daerah, mulai dari bupati sampai camat).
Kecintaan pada puisi makin berkembang ketika mulai masuk novisiat (tempat para calon imam). Karena banyak waktu untuk membaca dan merenung, maka banyak puisi-puisi religi yang ditulis untuk refleksi diri. Selain itu karena terlibat dalam pendampingan terhadap para buruh di Ungaran, saya menulis pula puisi-puisi perjuangan kaum buruh.
Aku Seorang Anak Manusia 3
Jeritan Para Pekerja, Kaum Buruh
Aku seorang anak manusia
Ingin dihormati martabatku
Meski aku hanya seorang pekerja biasa Yang diupah...
Aku tidak hiraukan kebijakan baru
Bahwa upahku dinaikkan seperti manager
Penuh lapang aku tinggalkan tempat kerjaku
Namun.... Kuterpana melihat cacing menggeliat
Bukan panas...
Kebebasannya dirampas oleh deringan
Kemajuan eden yang menjadi edan
Kemerdekaannya digerogoti ancaman
Kutangisi diriku dijadikan Sapi Perah Secara Ilegal (SPSI)
Penuh rayuan Pokoknya Harus Kerja (PHK)
Dengan tunjangan Upah Manusiawiku Raib (UMR)
Hilanglah jejak merdeka leluhurku Tapi diambil negara atau siapa?
Bukankah menjadi pekerja, bangsa sendiri akan jaya?
Aku termenung
Aku tercenung
Merenung dalam heningnya diriku
Apakah aku harus diam saja?
Biarkan diriku ditindas?
Menonton keadilanku dirampas?
Pekik teriakku kembali menggelegar
Seperti petir menyambar
Burung bayangan yang melayang terbang
Tanpa daya tiada merdeka
Menegakkan persamaan hak dan perlakuan manusiawi.
Salatiga, akhir 1994
Puisi di atas berangkat dari keprihatinan terhadap situasi buruh pada tahun 1990-an yang begitu marak dengan berbagai tekanan baik dari penguasa maupun pengusaha. Para buruh hanya dianggap sebagai "mesin-mesin" produksi tanpa perasaan yang tugasnya hanyalah menghasilkan barang dan jasa. Selebihnya cukup diam saja kalau mau aman dan selamat.
Meski saat itu saya seorang frater novis di dalam biara, tetapi tidak menutup mata terhadap berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dan karena kami para novis berkesempatan 2 minggu sekali mendampingi buruh-buruh Katolik di Ungaran, kami dilatih untuk memiliki kepekaan dan kepedulian sosial.
Puisi menjadi sarana menyuarakan nyanyian jiwa masyarakat. Memang tidak mudah merangkai keprihatinan itu dalam kata-kata yang singkat. Tetapi menurut pengalaman saya, ini justru langkah termudah untuk menulis. Puisi lebih leluasa mengekspresikan isi hati dan pikiran. Bahkan ketika sudah kuliah di Yogyakarta, puisi-puisi saya rutin mengisi majalah REFLEKSI, sebuah majalah yang menyuarakan keprihatinan sosial Gereja Kristen Jawa di Solo. Sayang sekali majalah ini sudah tiada!