Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mengasah Kepekaan Lewat Puisi Melewati Ngarai Perbukuan

6 Juli 2024   00:26 Diperbarui: 6 Juli 2024   00:34 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dan lebih menyayangkan lagi, aneka kumpulan puisi yang ditulis antara tahun 1992-1998 ini hilang dan rusak dalam sebuah Hardisk A (saat komputer masih program lama) ketika saya menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) selama dua tahun di Madagascar. Jejak-jejak puisi tidak terlacak, tidak seperti sekarang yang bisa dititipkan di media sosial: Facebook atau email. Meski demikian, kesenangan saya pada puisi terus berlanjut hingga sekarang.

Menulis Cerpen

Selain aktif menulis puisi, saya belajar menulis cerpen dan opini. Ketika pertama kalinya mengirim cerpen ke Majalah Hidup tahun 1996 dan dimuat, ada rasa bangga yang luar biasa. Saat itu saya masih semester 3. Dari pengalaman itu saya terus termotivasi untuk menulis cerpen, entah dikirim ke media, entah untuk majalah internal, atau untuk catatan harian.

Menulis Cerpen menurut pengalaman saya hampir sama. Bermula dari keprihatinan tertentu, lalu membuat tema sebagai misi yang hendak disampaikan kepada pembaca, menciptakan setting masalah/tempat, membayangkan ending. Sebelumnya tentu menentukan tokoh-tokoh yang berperan sesuai dengan misi yang hendak disampaikan. Berikut Cerpen tentang bahaya AIDS yang pernah dimuat di Mingguan DIAN di Flores.

Cerpen ini bermula dari keprihatinan akan adanya korban HIV/AIDS yang marah atas situasi hidupnya. Dia seorang yang taat dan lurus hidupnya. Dia berontak dan marah pada Tuhan. Saya berusaha menggambarkan adanya sindikat penyebar AIDS keliling yang bisa mengancam siapa saja. Mereka bisa menggunakan keramaian untuk menyebarkan virus mematikan ini. Dengan cerpen ini saya bermaksud untuk mengajak pembaca waspada terhadap sesuatu yang belum terjadi, tetapi bisa terjadi dan menimpa siapa saja.

Selain itu, melalui cerpen ini saya hendak menunjukkan bahwa korban apapun dalam masyarakat selalu dijauhkan, dilecehkan dan diremehkan. Saya hendak menegaskan bahwa penyakit bisa menimpa siapa saja. Kita boleh menjauhkan penyakit, tetapi tetap mendekati dan menyayangi korbannya.

AIDS KELILING...

Fredo Benoit Jogoena


"Pergilah wahai pembawa sial...kau telah menodai keluarga kita dengan penyakitmu. Pergi kau anak terkutuk..anak tidak tahu berterima kasih pada keluarga. Teganya kau membawa penyakit itu ke sini. Pergilah....kau telah hidup begitu bebas dan liar. Lihat akibatnya...kau mengidap penyakit yang memalukan dan tidak pernah ada dalam sejarah keluarga kita," teriak ayahku ketika dia tahu aku mengidap penyakit yang sangat berbahaya dan belum ada penangkalnya itu.

Aku menangis sejadi-jadinya. Sudah divonis mengidap penyakit mematikan, eh masih dicaci dan diusir dari keluargaku. Tak pernah kubayangkan akan menerima semuanya ini.

Apakah dosa dan salahku Tuhan? Masihkah Kau mencari Ayub-Ayub di zaman modern ini? Jika demikian, masih berapa juta orang tak berdosa seperti aku yang akan Kau cobai dengan penyakit ini?

Aku terus meronta dan mengadu pada Tuhan. Mengapa dia ciptakan aku hanya untuk mengalami derita semacam ini. Air mata terus membasahi pipiku sampai aku tak sadarkan diri di sudut kamarku yang telah dibuat khusus oleh ayah. Aku dibuatkan kamar tersendiri di luar rumah induk agar tidak menulari orang lain. Aku dipasung bagai orang gila.

Aku tidak boleh ditengok oleh siapapun, bahkan bila ada orang yang mencari aku, "neraka" akan segera menyala dalam keluargaku. Para sahabat dan kenalan tidak pernah lagi datang dan menemani aku. Jangankan menjenguk, menyebut namaku saja sudah suatu aib tersendiri. Tak kusangka para sahabat yang pernah berjanji akan saling menemani dalam untung dan malang, suka dan duka, sehat dan sakit...kini telah raib dari hadapanku. Duniaku menjadi dunia yang gelap dan terpasung, terbuang... dunia yang tergenang lumpur beracun yang terus meluber dalam hidupku tanpa kuasa aku tolak. Ya aku kini bagai terbenam dalam genangan lumpur dengan kaki yang tak bisa terangkat. Makin lama lumpur itu kian tinggi dan mulai membenam hidupku. Tapi yang kusesali...mengapa aku tidak lenyap saja bersama lumpur ini?

.........

Saya sempat mengalami kesulitan untuk mencari bahan pendukung yang menyatakan bahaya semacam ini ada dan bisa terjadi. Cerpen itu tidak melulu fiksi dan imajinasi, tetapi sesuatu yang nyata, sesuatu yang bisa menimpa siapa saja. Proses penulisan cerpen sepanjang 8 halaman ini memakan waktu hampir 1,5 bulan. Ini termasuk cerpen terlama yang saya tulis. Tetapi sungguh menyenangkan karena bisa menggugah kewaspadaan pembaca untuk situasisituasi yang mematikan. Inilah penting sebuah riset untuk mendukung bahan-bahan yang akan kita tulis. Riset bisa dilakukan macam-macam, tergantung kebutuhan dan ketersediaan bahan tulisan kita. 

Kesulitan utama dalam menulis cerpen adalah tidak setia dengan tema dasar yang hendak disampaikan, sehingga gagal untuk diselesaikan. Kalau konsisten dengan tema awal, dengan setting masalahnya, maka kita akan terbantu untuk terus focus pada penulisan cerpen. Sedangkan ending yang dipilih tergantung dari pesan utamanya. Apakah berupa open ending sehingga orang diajak berpikir dan menemukan solusi? Ataukah berupa pilihan sikap: sad/happy ending, sehingga pembaca langsung menemukan kesimpulan yang kita tawarkan?

Bagaimana supaya kita bisa menulis cerpen? Pertama, bacalah banyak-banyak cerpen orang lain. Kedua, berlatih, berlatih dan terus berlatih menulis sebuah cerpen sampai menjadi sebuah kebiasaan. Dengan demikian ritme dan kepekaan kita untuk mengolah sesuatu menjadi sebuah cerpen dapat dibiasakan, ditingkatkan, dipertajam dengan semakin banyak jam terbang.

Mengedit Sambil Menolong Penulis

Sejak tahun 2003, setelah mengambil sebuah keputusan amat berani dalam hidupku, mulailah saya mengakrabi diri sebagai seorang editor di penerbit sebuah lembaga Dialog Antariman. Di sini, di lembaga ini kesenangan dan hobby saya untuk menulis semakin menemukan ritmenya. Selain sebagai editor saya juga menulis berita dan editorial. Selain itu saya menyunting berbagai hasil seminar dan pelatihan menjadi buku. Yang paling monumental justru ketika saya berinisiatif mengumpulkan semua tulisan, hasil rekaman pembicaraan pendiri utama lembaga itu menjadi sebuah buku berdasarkan periodisasi perkembangan pemikiran sang pendiri. Buku itu kemudian diterbitkan setelah saya sudah tidak di situ lagi. Ada rasa bangga bisa menghasilkan suatu karya besar tanpa menikmati hasilnya, meski tidak diakui secara terus terang dan jujur oleh para penerus di situ.

Penajaman diri sebagai editor semakin berkembang ketika saya bekerja sebagai editor di sebuah penerbit swasta katolik yang tidak saja menerbitkan buku-buku rohani tetapi aneka buku umum lainnya. Di tempat ini, saya menemukan keasyikan yang menggembirakan dan menantang secara positif. Rupanya bidang yang digeluti sangat cocok dengan latar belakang kuliah sebelumnya. Di sini saya berjumpa dengan puluhan penulis dengan ratusan naskah yang berbeda.

Rasanya begitu asyik menikmati berbagai cara berpikir penulis. Sebagai editor saya berperan tidak saja bagaimana sebuah naskah itu bisa terbit, tetapi juga ikut membantu penulis untuk semakin berkembang dalam menulis.

Dengan membaca naskah buku seseorang, editor terpanggil untuk membantu penulis menemukan kekurangan tulisannya dan memberikan solusi-solusi baik perbaikan isi buku tersebut, maupun untuk peningkatan daya kritis penulis untuk penulisan buku-buku selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun