Kebutuan ini terjadi selain karena harus menjalankan kerja utama sebagai editor untuk menerbitkan naskah orang lain di penerbitan saya, juga karena saya terlalu mudah menyerah dalam rimba pemikiran sendiri, sehingga sulit menemukan jalan keluar. Kalau sudah buntu saya akan meninggalkan tulisan dimaksud meski proses penulisannya sudah "setengah" jalan. Ini contoh yang tidak baik dan tidak layak ditiru.
Ngarai Perbukuan
Belakangan ini dunia perbukuan sedang mengalami kelesuan. Banyak penerbit yang gulung tikar. Sementara itu banyak penulis yang merasa lebih untung menerbitkan bukunya secara indie dengan sistem POD -- print on demand -- sesuai dengan kebutuhan sendiri. Sistem ini secara finansial lebih menjanjikan karena penulis yang menentukan harga jual bukunya, dan menikmati sepenuhnya hasil penjualan itu, tidak harus menumpuk di gudang atau toko buku, tidak mengenal sistem konsiyansi karena kebanyakan langsung dibeli tunaim dan tidak perlu sistem royalti dengan penerbit yang hanya 10%, itupun kalau jujur melaporkan kepada penulis.
Meski dunia perbukuan sedang masuk dalam ngarai yang curam di tengah gencarnya e-book dan media sosial, para calon dan penulis mestinya tetap setia memperjuangkan penerbitan buku-buku entah lewat penerbit indie atau penerbit mayor. Karena hanya dengan bukulah kita bisa menjangkau banyak orang, menjangkau dunia yang lebih luas dan lebih jauh.****
(Tulisan saya ini diambil dari Buku Proses Kreatif Dalam Menulis, Aneka Pengalaman Mengatasi Kesulitan, Bajawa Press: 2018, hlm. 61-72)