Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tak Plontos Tak Ramai

30 Juni 2024   22:40 Diperbarui: 30 Juni 2024   23:11 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(dokpri sahabat penyintas)

TAK PLONTOS TAK RAMAI

(#cerpen berdasarkan kisah nyata)

Di ruang tamu yang hangat, empat pria duduk berhadapan. Mereka adalah Andi, Budi, Cakra, dan Dodi, sahabat karib sejak masa SMA. Di tengah mereka, ada sebuah gunting rambut dan alat cukur. Mereka akan memplontoskan rambut mereka malam ini, sebuah keputusan yang telah mereka pertimbangkan dengan matang.

Ini semua dimulai ketika istri Andi, Rina, didiagnosis menderita kanker payudara. Setelah menjalani kemoterapi, Rina kehilangan semua rambutnya. Andi, tanpa ragu, memutuskan untuk mencukur habis rambutnya sebagai bentuk dukungan.

"Saat Rina kehilangan rambutnya, dia merasa sangat sedih," kata Andi, "Aku mencukur habis rambutku untuk menunjukkan bahwa dia tidak sendirian. Kita sama-sama botak, dan kita akan melawan ini bersama-sama."


Budi, Cakra, dan Dodi, terharu dengan keputusan Andi. Mereka memutuskan untuk melakukan hal yang sama, sebagai bentuk solidaritas mereka kepada Andi dan Rina. Namun, keputusan mereka tidak datang dengan mudah.

Budi, yang senang dengan rambut gondrongnya, merasa ragu. Namun, ia tahu bahwa rambut bisa tumbuh kembali, sedangkan dukungan moral bagi sahabatnya tidak bisa ditunda. "Ini hanya rambut," katanya, "Itu bisa tumbuh kembali. Tapi, Andi dan Rina membutuhkan dukungan kita sekarang."

Cakra, seorang pengusaha yang sering bertemu dengan klien, merasa khawatir. Ia takut penampilannya yang botak akan menimbulkan pertanyaan. Namun, ia memutuskan bahwa persahabatan dan solidaritas lebih penting daripada penampilan. Kalau pun ada klien yang tanya ia akan jujur mengapa botakin kepalanya.

Dodi, yang selalu memelihara jenggot dan kumisnya, merasa cemas. Namun, ia tahu bahwa ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan dukungan. "Ini bukan tentang kita," katanya, "Ini tentang Andi dan Rina. Mereka yang harus kita dukung."

Maka, satu per satu, mereka mulai mencukur rambut mereka. Suara mesin cukur mengisi ruangan, diselingi oleh tawa dan candaan mereka. Setelah selesai, mereka berdiri, botak dan bangga, menatap refleksi mereka di cermin.

"Kita semua botak sekarang," kata Andi, tersenyum, "Tapi, kita semua bersama sebagai satu keluarga. Terima kasih, teman-teman."

Mereka berpelukan, merasakan ikatan persahabatan yang lebih kuat dari sebelumnya. Malam itu, mereka bukan hanya kehilangan rambut mereka, tetapi juga menemukan arti baru dari persahabatan dan solidaritas. Mereka tahu, bersama-sama, mereka bisa menghadapi apa pun.

Rina tak lagi sendirian. Meski derita di badan ditanggungnya sendiri, tetapi kehadiran teman-teman plontos baru telah menguatkan batinnya. Ia tak berjuang dalam sakit sendirian. Ada suami dan para sahabat yang begitu mencintainya. "Ah, seadainya plontos mereka bisa perpanjang hidupku, aku rela plontos hingga akhir perjuangan," pungkas Rina kepada para sahabatnya.

*Para tokoh dalam cerpen ini adalah rekaan belaka. Jika ada yang namanya sama ini hanya kebetulan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun