TAK PLONTOS TAK RAMAI
(#cerpen berdasarkan kisah nyata)
Di ruang tamu yang hangat, empat pria duduk berhadapan. Mereka adalah Andi, Budi, Cakra, dan Dodi, sahabat karib sejak masa SMA. Di tengah mereka, ada sebuah gunting rambut dan alat cukur. Mereka akan memplontoskan rambut mereka malam ini, sebuah keputusan yang telah mereka pertimbangkan dengan matang.
Ini semua dimulai ketika istri Andi, Rina, didiagnosis menderita kanker payudara. Setelah menjalani kemoterapi, Rina kehilangan semua rambutnya. Andi, tanpa ragu, memutuskan untuk mencukur habis rambutnya sebagai bentuk dukungan.
"Saat Rina kehilangan rambutnya, dia merasa sangat sedih," kata Andi, "Aku mencukur habis rambutku untuk menunjukkan bahwa dia tidak sendirian. Kita sama-sama botak, dan kita akan melawan ini bersama-sama."
Budi, Cakra, dan Dodi, terharu dengan keputusan Andi. Mereka memutuskan untuk melakukan hal yang sama, sebagai bentuk solidaritas mereka kepada Andi dan Rina. Namun, keputusan mereka tidak datang dengan mudah.
Budi, yang senang dengan rambut gondrongnya, merasa ragu. Namun, ia tahu bahwa rambut bisa tumbuh kembali, sedangkan dukungan moral bagi sahabatnya tidak bisa ditunda. "Ini hanya rambut," katanya, "Itu bisa tumbuh kembali. Tapi, Andi dan Rina membutuhkan dukungan kita sekarang."
Cakra, seorang pengusaha yang sering bertemu dengan klien, merasa khawatir. Ia takut penampilannya yang botak akan menimbulkan pertanyaan. Namun, ia memutuskan bahwa persahabatan dan solidaritas lebih penting daripada penampilan. Kalau pun ada klien yang tanya ia akan jujur mengapa botakin kepalanya.
Dodi, yang selalu memelihara jenggot dan kumisnya, merasa cemas. Namun, ia tahu bahwa ini adalah cara terbaik untuk menunjukkan dukungan. "Ini bukan tentang kita," katanya, "Ini tentang Andi dan Rina. Mereka yang harus kita dukung."
Maka, satu per satu, mereka mulai mencukur rambut mereka. Suara mesin cukur mengisi ruangan, diselingi oleh tawa dan candaan mereka. Setelah selesai, mereka berdiri, botak dan bangga, menatap refleksi mereka di cermin.