Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Beri Ulama dan Tokoh Agama Kesempatan

26 Juni 2024   22:53 Diperbarui: 26 Juni 2024   22:53 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengantar Topik Pilihan yang diberikan oleh Kompasiana berikut amat menarik untuk diulas kali ini:

"Ada sederet persoalan kini tengah menerpa tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mesti dari mana kita urai untuk perbaikan? Apakah dengan merevisi UU KPK bisa dimulai dari itu? Pun kalau kita melihat ke belakang, bagaimana Kompasianer menilai kinerja KPK periode sekarang? Kritik apa yang bisa disampikan guna mendapat pimpinan dan dewan pengawas lebih baik lagi?"

Terlebih mengenai latar belakang pemimpin, sebaiknya KPK dipimpin oleh orang yang berasal dari mana? Apakah jujur saja cukup?Kompasianer teringat siapa saja nama-nama yang cocok mengisi kursi kepemimpinan KPK mendatang? Mengapa orang-orang tersebut dianggap layar mendapat mandat itu?

Sebuah Kegelisahan Sebagai Pengantar

Indonesia merupakan bangsa yang sangat religius, dengan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Jika masyarakat yang amat religius ini memberikan kesempatan kepada tokoh agama untuk memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi langkah yang tepat dan bijaksana. Mengapa? Karena tokoh agama biasanya memiliki integritas moral yang tinggi dan dihormati oleh masyarakat luas. Mereka dapat menjadi simbol kejujuran dan keadilan yang kuat, serta mampu menginspirasi perubahan positif di dalam lembaga tersebut. Dengan memimpin KPK, mereka diharapkan dapat memperkuat nilai-nilai etika dan moral dalam penegakan hukum, menciptakan budaya anti-korupsi yang lebih kokoh, dan membangkitkan semangat kebersamaan dalam melawan korupsi. Apalagi suara para ulama (apapun agamanya) masih didengarkan oleh umatnya. Itu pertimbangan di sisi pertama.

Di sisi yang lain para profesional dengan latar belakang hukum dan kepolisian (sebagaimana selama ini memimpin KPK) dapat ditempatkan di bagian eksekusi untuk menjalankan tugas-tugas teknis dan operasional. Mereka memiliki keahlian dan pengalaman yang diperlukan untuk melakukan investigasi, penyidikan, dan penuntutan kasus-kasus korupsi secara efektif. Kolaborasi antara tokoh agama yang memimpin dan profesional hukum yang melaksanakan tugas eksekusi ini diharapkan dapat menghasilkan sinergi yang kuat. Tokoh agama dapat memberikan arahan moral dan memastikan integritas lembaga terjaga, sedangkan para profesional hukum dapat memastikan bahwa proses penegakan hukum berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dengan demikian, KPK dapat beroperasi dengan lebih efektif, adil, dan berintegritas, serta mendapatkan dukungan yang lebih besar dari masyarakat.

Namun harapan ini sulit terlaksana. Lebih mudah meminum kopi pahit sambil membaca puisi berikut:

Seperti biji kopi dipilih dengan saksama,
Mencari pemimpin berintegritas di negeri ini tak mudah,
Setiap tetes harapannya penuh makna,
Namun seringkali rasa pahit yang menguasai gelas kita.

Dalam gelap dan terang biji kopi diramu,
Begitu pula jiwa yang tegar menghadapi godaan,
Di tengah gelombang korupsi yang terus menderu,
Kami mencari sosok yang teguh dalam kejujuran.

Seperti secangkir kopi yang membangunkan pagi,
Kami butuh pemimpin yang menghidupkan harapan,
Dengan hati bersih dan tangan yang tak ternodai,
Agar hukum dan keadilan selalu tegak berdiri.


Puisi tiga bait di atas menggambarkan kesulitan dan tantangan dalam mencari pemimpin yang berintegritas di Indonesia, khususnya untuk memimpin lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Karena hampir sepanjang sejarah keberadaan KPK selalu saja ada drama tentang integritas person-person yang menjadi pimpinan KPK.


Seperti biji kopi yang dipilih dengan teliti untuk menghasilkan minuman berkualitas, pemimpin yang berintegritas harus dipilih dengan cermat dan penuh kehati-hatian. Setiap tetes harapan dari proses ini penuh dengan makna, mencerminkan harapan masyarakat akan kejujuran dan keadilan. Namun, sering kali rasa pahit, yang melambangkan kekecewaan terhadap realitas yang ada, mendominasi gelas kita, menunjukkan bahwa menemukan pemimpin yang benar-benar bersih dan berkomitmen bukanlah tugas yang mudah. Mencari pemimpin yang sudah selesai dengan diri dan keluarganya sehingga hanya total melayani negara itu sulit. Apalagi proses pemilihannya masih melibatkan partai politik. Tentu akan ada deal-deal politik antara para calon dengan partai. Mau tidak mau, selama kebijakan untuk proses seleksinya belum berubah, maka kemungkinan untuk "membeli" kucing dalam karung masih akan terjadi.

Pada bait kedua menggambarkan proses pengolahan biji kopi dalam kegelapan dan terang yang "bisa diibaratkan" dengan perjalanan seorang pemimpin yang harus kuat menghadapi godaan dan tantangan. Di tengah derasnya gelombang korupsi, masyarakat mencari sosok yang teguh dalam kejujuran dan berani melawan arus negatif terutama iming-iming kekuasaan dan kekayaan.

Bait terakhir menggambarkan harapan akan pemimpin yang seperti secangkir kopi yang membangunkan pagi, membawa semangat baru dan optimisme. Pemimpin ini diharapkan memiliki hati yang bersih dan tangan yang tidak ternoda, agar hukum dan keadilan dapat ditegakkan dengan sempurna. Sang penegak hukum tidak tersandera kasus hukum secara personal, supaya tidak menyapu lantai kotor dengan sapu atau pel yang kotor. Karena itu akan mengotori lantainya. Betapa pentingnya integritas dan moralitas dalam kepemimpinan untuk menciptakan perubahan positif di masyarakat.

Apakah mulai dengan revisi UU KPK?

Perbaikan membutuhkan nyali dan keseriusan, butuh tekad yang jujur bahwa ini demi bangsa bukan demi siapa-siapa yang terlibat di balik proses pembentukan dan pemilihan pimpinan KPK. Hampir sepanjang keberadaannya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menghadapi sejumlah tantangan dan kontroversi terutama dalam beberapa tahun terakhir.

Revisi Undang-Undang KPK (UU No. 19 Tahun 2019) telah menjadi topik perdebatan yang signifikan. Revisi ini mengubah beberapa aspek fundamental dari operasional KPK, yang menurut beberapa pihak melemahkan institusi ini. Langkah pertama dalam perbaikan bisa dimulai dengan mengevaluasi dampak revisi tersebut dan mempertimbangkan untuk memperbaiki atau membatalkan beberapa perubahan yang dianggap melemahkan.

Pertama, Independensi KPK. Salah satu kritik utama terhadap revisi adalah pengurangan independensi KPK, terutama dengan pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh Presiden. Memastikan independensi KPK adalah langkah kunci untuk perbaikan.

Kedua, Kewenangan Penyadapan. Pembatasan kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan tanpa persetujuan Dewan Pengawas juga dikritik. Mengembalikan atau memodifikasi aturan ini untuk mempercepat proses investigasi bisa menjadi solusi.

Ketiga, Status Kepegawaian. Mengubah status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) juga diperdebatkan, karena dianggap bisa mempengaruhi independensi dan profesionalisme penyidik KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun