MEI BERAKHIR PENUH SUKACITA
Akhirnya, perjalanana anjangsana dari rumah ke rumah setiap malam antara yang dimulai pukul 18.30 atau 19.00 selama 31 hari pun berakhir. Saya jadi ingat, saat masih kecil di pesisir selatan Kabupaten Ngada, tepatnya di pinggir pantai Laut Sawu, betapa penuh sukacitanya kami menanti tanggal 31 Mei. Penutupan bulan Maria (atau bulan Rosario, Oktober) selalu menarik karena akan ada makan bersama dengan menu utama daging babi hasil patungan seluruh keluarga dalam satu lingkungan. Betapa indahnya kebersamaan dalam iman dan perjamuan: selain mengakrabkan juga meneguhkan.
Perjamuan dalam kebersamaan diawali dengan perjumpaan demi perjumpaan yang dilewati setiap hari dari rumah ke rumah, dalam antusiasme umat yang menyanyi dan berdoa tanpa henti meski seharian lelah dari ladang atau pekerjaan lain. Perjumpaan yang dirayakan sebagai penutup bulan Maria diinspirasi dari kisah Maria Mengunjungi Elisabeth dalam Lukas 1:39-56. Kali ini kita akan mencoba memahami makna perjumpaan bukan dalam arti teologis seperti yang selama ini dijelaskan oleh para imam atau pemimpin ibadat.
Kita mencoba memaknai Maria mengunjungi Elisabeth dalam artian yang lebih pastoral, psikologis, dan sosiologis baik bagi umat Katolik maupun siapapun yang ikut menikmati sukacita kegembiraan perjumpaan yang dirayakan orang katolik.
Perjumpaan secara Pastoral
Maria mengunjungi Elisabeth secara pastoral berarti mengakui dan merespon kebutuhan spiritual Elisabeth. Elisabeth, wanita berusia lanjut yang sedang hamil tua dan ditinggalkan oleh suaminya sebagai imam dalam upacara keagamaan. Oleh karena itu, dia mungkin merasa sendirian dan kesepian. Maria mengunjungi Elisabeth dengan pengarahan Roh Kudus, yang memuliakan Elisabeth melalui persaudaraan dan perhatian. Kunjungan Maria memberikan penghiburan dan keberanian bagi Elisabeth untuk melanjutkan perannya sebagai ibu Yohanes Pembaptis, bahkan di tengah isolasi sosial dan kekalutan emosional.
Anjangsana umat blok, KUB atau lingkungan selama 31 hari bisa menjadi sarana pastoral untuk saling mengunjungi, saling bersapa dan bersendagurau. Terutama untuk berdoa bersama mensyukuri penyertaan dan berkat Tuhan. Saling sapa dan doa bersama menjadi sarana pastoral (kegiatan menggembalakan jemaat oleh jemaat dan untuk jemaat) di Blok, KUB atau lingkungan. Doa bersama menjadi peneguhan spiritual yang mendalam.
Perjumpaan secara Psikologis
Kunjungan Maria juga memiliki arti psikologis. Pertemuan itu terjadi pada waktu yang paling tepat, yaitu ketika Elisabeth sangat membutuhkan bantuan dan dukungan. Maria, sebagai seorang ibu yang peduli, memperlihatkan cinta kasih dan kehangatan yang membantu menghilangkan kekhawatiran Elisabeth dengan kehamilan dan rasa rendah diri yang mungkin ia rasakan, terutama kehamilannya di masa tuanya. Maria memahami keadaan Elisabeth dan membawa sukacita dan kegembiraan ke dalam kehidupan Elisabeth.
Kabar sukacita yang dibawa itu beresonansi, sehingga bayi yang di dalam kandungan Elisabeth melonjak kegirangan. Lihat, bukan saja tatapan mata fisikal yang membuat orang lain melonjak kegirangan. Tatapan mata batiniah, kehadiran yang penuh keterbukaan hatilah yang membuat sesama menerima kita dengan penuh sukacita pula. Itulah makna perjumpaan secara psikologis, yang lebih penting dari sekadar perjumpaan fisik yang kadang nir makna.
Perjumpaan Secara Sosiologis
Sedangkan makna sosial dalam kunjungan Maria ke Elisabeth dilihat dari implikasi sosial pertemuan dua wanita ini. Dalam konteks sosial, kunjungan Maria memperlihatkan upaya menghubungkan keluarga atau komunitas. Semenjak saat itu, Maria dan Elisabeth mewakili dua generasi (generasi tua dan generasi baru) Keluarga yang terhubung satu sama lain, karena Yohanes Pembaptis yang dilahirkan oleh Elisabet menjadi seorang yang besar dan dipilih menjadi pembaptis Yesus. Dalam hal ini, Maria dan Elisabeth mewakili keluarga-keluarga yang dihubungkan oleh cinta kasih Kristus.
Kita bayangkan ketika dua ibu hamil yang saling berjumpa entah di rumah sakit, rumah makan atau pasar akan terlihat saling berbagi kabar tentang masing-masing kandungan. Betapa guyubnya kedua ibu hamil apalagi salah satu dari mereka memiliki pengalaman hamil sebelumnya, maka dia akan menjadi "guru" yang baik bagi temannya, sekalipun mereka baru pertama kali berjumpa. Itulah indahnya perjumpaan sosiologis dari orang-orang yang terpanggil untuk melestarikan kehidupan melalui diri mereka.
Akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa pertemuan Maria dan Elisabeth dalam perjalanan anjangsana kita sebagai umat Katolik harus dilihat dalam aspek pastoral, psikologis, dan sosiologis. Pertemuan keduanya memperlihatkan kasih sayang Roh Kudus atas umat manusia, mencerminkan hubungan sosial antara keluarga dan masyarakat, serta pengertian dan kepercayaan dalam peran perempuan sebagai dua pribadi yang penuh cinta kasih.
Di akhir anjangsana rohani ke-31 ini, kami umat se-lingkungan (Paroki Minormartani, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta) tadi menutupnya dengan menikmati perjamuan bersama meski amat sederhana (bukan seperti yang saya bayangkan di masa kecil) namun guyup, meriah dan utamanya umat bersukacita, merasa saling meneguhkan. Lebih dari itu, ada kesempatan saling sapa dengan penuh kehangatan cinta dan perhatian selama 31 hari. Tentu ada yang lowong karena aneka kesibukan, namun tidak mengurangi kesatuan dan kekeluargaan sebagai satu lingkungan, yang belajar dari sumber spiritualitas pelindung yang sama, Santa Angela Merici.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H