SABAR DALAM PROSES
Oleh: Alfred B. Jogo Ena
Selamat pagi pembaca,
Sedikit berbagi di pagi yang cerah ini tentang proses dan hasil menulis. Konon, menurut para pakar bahasa dan sastra menulis yang baik diawali atau ditentukan oleh kalimat pembuka yang baik. Jika kalimat pertama baik, maka selanjutnya akan baik dan lancar. Tetapi jika kalimat pertamanya buruk tanpa kaidah EYD maupun SPOK, akan mempersulit kita melanjutkan kalimat selanjutnya.
Kalimat pertama selalu ibarat langkah pertama kita meninggalkan tempat yang lama menuju suatu tempat yang baru. Berlatih dengan kesabaran dalam proses lebih baik daripada sukses dengan gemilang dengan mengabaikan proses. Sebab proses itu sendiri merupakan guru sekaligus sarana yang baik.
Contoh kalimat yang buruk:
"Tiba-tiba kegembiraan memenuhi seluruh ruangan yang bergemuruh. Tembok seperti mau rubuh dan atap mau terbang."
Kalimat yang baik:
"Aku bersama seluruh peserta bergembira dalam pesta wisuda kelulusan kami. Semua berteriak sembari meloncat-loncat senang."
Kalimat pertama tidak jelas konteksnya. Kalimat kedua lebih jelas konteks dan subjek yang terlibat dan apa yang dilakukan (predikatnya).
Secara pribadi saya akan kesulitan untuk melanjutkan kalimat pada contoh pertama. Sedangkan pada contoh kedua, akan dengan mudah karena gambarannya sangat jelas.
Dalam belajar menulis, hendaknya kita berlatih untuk memudahkan diri kita sendiri dengan sesuatu yang mudah, kalimat yang mudah dipahami, diksi yang selaras, dll.
Seorang editor (penerbitan) yang berhadapan dengan tumpukan ratusan naskah atau ratusan email tawaran naskah yang masuk, (dari pengalaman saya pribadi, maaf ini tentu tidak sama dengan editor dan penerbit lainnya), akan menilai dari lima alinea pertama tulisannya (termasuk sinopsisnya). Jika sejak awal dia tertarik (memang ini agak subjektif sih) maka dia segera rekomendasikan bahwa naskah itu layak diperjuangkan untuk diterbitkan. Jika sejak awal dia sudah pusing dengan kalimat yang banyak typo tanpa pesan yang jelas maka naskah tersebut akan segera masuk kotak sampah alias tidak akan digarap lebih lanjut. Nasibnya bisa dikembalikan ke penulisnya (jika disertai perangko balasan), jika tidak hanya akan memenuhi gudang.
Pikatan atau godaan pertama sebuah tulisan, selain judul juga pintu (kalimat pembukanya) yang memang lapang untuk dilewati, shingga penulis segera bisa sampai ke ruang tamu atau ruang diskusi lainnya bersama sang pemilik tulisan. Begitulah analogi sederhananya.
Menulislah dengan kalimat dan bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang memenuhi kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) , yang tidak banyak typo (kesalahan-kesalahan kecil yang mengganggu seperti penggunaan kata di sebagai kata kerja pasif atau di sebagai preposisi, penempatan tanda baca (koma, titik dua, titik, tanda tanya, tanda seru yang tidak dispasi di belakang kata yang diikuti dengan tanda itu), dan hal-hal teknis lainnya. Karena secara teknis saja sudah tidak beraturan, apalagi menyangkut isi dan alur berpikirnya.Â
Menulis dengan baik pertama-tama bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri sendiri, apakah kita menghargai diri sendiri sehingga ketika orang membaca tulisan kita, orang seperti bertemu langsung dengan kita yang ramah, penuh rasa percaya diri, penuh rasa hormat pada diri sendiri (sehingga menghormati orang lain).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H