Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Editor - Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Persiapkan Mental Agar Bisa Menanggung Beban

21 April 2024   21:56 Diperbarui: 21 April 2024   23:36 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang depresi (gambar dari: palembang.tribunnews.com)

PERSIAPKAN MENTAL AGAR BISA MENANGGUNG BEBAN

Catatan Seputar Depresi Mahasiswa Kedokteran 

Oleh: Alfred B. Jogo Ena

Pada 15 April 2024 lalu publik dikejutkan dengan berita di Harian Kompas tentang 399 calon dokter spesialis ingin bunuh diri. Berita ini mencengangkan karena para calon spesialis ini nantinya akan berkarya di tengah masyarakat. "Sebanyak 224 persen mahasiswa program pendidikan dokter spesialis (PPDS) terdeteksi mengalami gejala depresi...dan sebanyak 3,3 persen atau 399 PPDS merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri dengan cara apapun."

Sebagai orang yang sangat awam dalam dunia kedokteran, kita mungkin hanya melihat hasil akhir dari laporan sebagaimana diberitakan Harian Kompas. Tetapi kita tidak sungguh tahu apa yang sesungguhnya terjadi (mengapa dan bagaimana bisa demikian) di kalangan para calon dokter spesialis.

Sebagai pembaca yang kritis kita perlu melakukan klarifikasi agar berita seperti ini tidak menimbulkan kekhawatiran dan kepanikan yang tidak perlu bahkan ketakutan dari para orang tua untuk mengijinkan anaknya menjadi dokter. Untuk apa kuliah susah-susah kalau pada akhirnya mereka mengalami depresi?  

Jika ada kebenaran di balik klaim (berita) ini, beberapa alasan mungkin termasuk tekanan kerja atau belajar yang berat, jadwal yang melelahkan, stres akibat tanggung jawab yang besar, atau bahkan depresi dan masalah kesehatan mental lainnya yang mungkin tidak diidentifikasi atau ditangani dengan benar.

Beberapa Langkah Konkret

Menurut hemat penulis (mungkin agak subjektif dan tidak menjawab persoalan) ada beberapa langkah konkret yang dapat diambil oleh pihak-pihak terkait:

Pertama, Kampus. Institusi pendidikan perlu memastikan bahwa mahasiswa memiliki akses ke layanan dukungan kesehatan mental yang memadai. Mereka juga harus mempromosikan lingkungan belajar yang seimbang dan sehat, di mana tekanan akademik dan profesional tidak menjadi beban yang berlebihan. 

Selain itu, kampus bisa memberikan pelatihan kepada staf dan dosen tentang cara mengidentifikasi tanda-tanda stres dan kesehatan mental yang buruk pada mahasiswa. 

Situasi dan kondisi anak-anak dewasa ini tentu sangat beda dengan zaman dulu. Apalagi dengan segala bentuk kemudahan yang dimiliki, anak-anak dewasa ini tidak terbiasa tertantang dengan hal-hal yang sulit baik secara fisik maupun psikis. 

Makanya salah satu sarana memperkuat fisik dan mental itu adalah dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler yang mendukung seperti kegiatan olahraga dan pentas seni di kampus. 

Bagi mahasiswa yang banyak aktif di aneka kegiatan kampus tentu merasakan manfaatnya, meski tidak mengabaikan tugas utama, belajar dan selesai kuliah tepat waktu.

Kedua, Mahasiswa. Mahasiswa harus diberi kesempatan untuk berbicara tentang perasaan dan pengalaman mereka tanpa takut akan stigma. Mereka harus didorong untuk mencari bantuan profesional jika mereka merasa stres atau tertekan. 

Selain itu, mahasiswa juga harus mendapatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya menjaga kesehatan mental mereka. Hal-hal itu bisa diberikan sejak awal masa orientasi kampus. 

Banyak dosen dan pakar yang tentu lebih tahu kebutuhan dasar mahasiswa sebelum benar-benar "tenggelam" dalam kuliah yang menyita perhatian. Perlu ada ruang yang membiarkan mahasiswa untuk mengungkapkan segala bentuk kekecewaan mereka dengan tetap dipantau atau didampingi dosen pembimbing atau semacam wali rohani yang bersedia menjadi "tempat sampah" bagi mereka untuk melepaskan aneka tekanan batin mereka. Hal ini bisa terlaksana hanya bila si mahasiswa peka dan terbuka dengan keadaan dirinya dan terbuka pula kepada pihak kampus.

Ilustrasi orang depresi (gambar dari: palembang.tribunnews.com)
Ilustrasi orang depresi (gambar dari: palembang.tribunnews.com)

Ketiga, Orang Tua. Orang tua harus mendukung anak-anak mereka dan berkomunikasi secara terbuka tentang stres dan tekanan yang mungkin mereka alami. Mereka juga harus didorong untuk mencari bantuan profesional jika mereka merasa khawatir tentang kesehatan mental anak mereka. 

Saya masih ingat cara ayah saya melatih kami berani dan kuat secara mental dan fisik, tidak boleh stress. Saya ingat dengan baik saat masih SD dan SMP di pesisir selatan Kabupaten Ngada, karena kami memiliki rumah di dua tempat berbeda dengan jarak tempuhnya 11 km. 

Kami sering disuruh berangkat pukul 04.00 pagi dari rumah dan harus sudah tiba di sekolah sebelum pulul 06.30. Hal itu bisa dilakukan seminggu sekali atau dua kali. 

Setelah sekian tahun baru terasa manfaatnya, kita punya ketangguhan untuk mengatasi rasa takut (lelah atau sakit, hari masih gelap, terlambat di sekolah) dengan berusaha untuk seolah-olah sedang lari atau jalan cepat. Jangan bayangkan lari pagi seperti dewasa ini dengan sepatu lengkap dan bawa HP untuk selfie-selfie. Setiap orang tua perlu mempersiapkan mental bagi anak-anaknya agar siap menghadapi tantangan atau menanggung beban hidup, ada semangat dan daya juang. 

Keempat, Pemerintah dan Organisasi Profesional. Pemerintah dan organisasi profesional harus memastikan bahwa dokter dan mahasiswa kedokteran memiliki akses ke dukungan kesehatan mental yang memadai. 

Mereka juga harus mendorong dan mendukung penelitian tentang kesehatan mental di kalangan profesional medis dan mencari solusi untuk mengurangi tekanan kerja di sektor ini. Karena para professional medis ini nanti akan berkarya di tengah masyarakat dengan aneka tekanan dan tuntutan. 

Perlu ada pelatihan-pelatihan menyangkut emosi dan kejiwaan agar para professional medis ini memiliki ketahanan diri yang prima, tidak mudah depresi dan mengambil keputusan instan yang merugikan diri sendiri.

Pendekatan Yang Perlu Dilakukan

Ada beberapa pendekatan yang dilakukan para pihak untuk membantu para mahasiswa (kedokteran) menghadapi tekanan dan beban belajar yang tinggi.

Ilustrasi mahasiswa dan tugas belajarnya (Foto ChatGPT koleksi pribadi)
Ilustrasi mahasiswa dan tugas belajarnya (Foto ChatGPT koleksi pribadi)

Pertama, Pendekatan Psikologis. Dalam pendekatan ini, mahasiswa didorong untuk mencari bantuan dari konselor atau psikolog kampus jika mereka merasa stres atau tertekan. Terapi kognitif perilaku juga dapat digunakan untuk membantu mahasiswa mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif. 

Selain itu, teknik relaksasi seperti meditasi atau yoga dapat diajarkan untuk membantu mengurangi stres. Meski sekolah atau kampus menyediakan sarana Bimbingan dan Konseling, seringkali tidak dimanfaatkan dengan baik baik oleh dosen maupun mahasiswa. (Saya sendiri tidak tahu pasti bagaimana keadaan kampus-kampus dewasa ini, apalagi menyediakan layanan ini).

Kedua, Pendekatan Pedagogis. Dosen dan staf pengajar harus dilatih untuk mengidentifikasi tanda-tanda stres dan kesehatan mental yang buruk pada mahasiswa. Selain itu, kurikulum dan metode pengajaran harus disesuaikan untuk mengurangi tekanan akademik dan mendorong pembelajaran yang seimbang dan sehat. Kenyataan seringkali berkata lain, pergantian kurikulum seperti sebuah proyek jalan tol, bisa berubah-ubah kapan saja, tergantung siapa menterinya.

Ketiga, Pendekatan Sosiologis. Pendekatan ini melibatkan penciptaan lingkungan sosial yang mendukung di kampus. Ini dapat mencakup pembentukan grup dukungan peer (peer to peer supporting untuk sharing dan diskusi bersama termasuk soal perasaan dan beban yang sedang dialami kepada teman sebayanya), penyediaan ruang sosial bagi mahasiswa untuk dapat bersantai dan berinteraksi, dan promosi kegiatan sosial dan ekstrakurikuler.

Keempat, Pendekatan Spiritual. Beberapa mahasiswa mungkin merasa mendapat manfaat dari pendekatan spiritual, seperti berdoa, meditasi, atau berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan. Kampus mungkin perlu menyediakan ruang dan sumber daya untuk mahasiswa yang ingin menjelajahi atau mempraktikkan keyakinan spiritual mereka. 

Kampus-kampus Katolik biasanya ada kegiatan rekoleksi atau retret tahunan. Kegiatan ini sangat mendukung mahasiswa untuk diajak masuk ke dalam dirinya dan merefleksikan seluruh perjalanannya selama satu semester atau satu tahun pembelajaran. Di sana dia akan menimba kekuatan spiritual menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Ada banyak latihan rohani/spiritual yang bisa dilayani sesuai dengan agama masing-masing.

Sebagai akhir, saya hanya ingin menegaskan bahwa tidak ada pendekatan tunggal yang akan bekerja untuk semua orang, dan beberapa mahasiswa mungkin membutuhkan kombinasi dari beberapa pendekatan ini. Perlu kerjasama setiap pihak. Apapun bentuk pendekatan yang dipilih tetaplah membutuhkan kerjasama dari semua pihak. Pendekatan yang paling efektif adalah yang diadaptasi untuk memenuhi kebutuhan pribadi setiap mahasiswa. 

Semoga dengan demikian, makin banyak mahasiswa kita yang terhindar dari stress dan depresi yang menyebabkannya ingin melakukan sesuatu yang melukai dirinya. Ia amat berharga untuk hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun