Koruptor itu orangnya. Korupsi itu perilaku orang yang menyalahgunakan kekuasaan. Perilaku penyalahgunaan kekuasaan itu, membawa dampak sangat berbahaya yaitu kerugian, baik bagi suatu lembaga, mitranya, negara, dan masyarakat.
Korupsi, apa kata kedua tokoh ini.
Wakil Presiden RI, Kyai Ma'ruf Amin, pada Hari Antikorupsi Sedunia 2021 (9/12/2021) Â di Gedung Merah Putih KPK, menegaskan begitu sederhana bahwa korupsi merupakan "tindakan yang dilarang oleh seluruh agama."Baca disini.Â
Hemat saya, menyataan Wapres kita ini memberikan peringatan bahwa perilaku korup adalah perbuatan dosa. Dan karena itu, melanggar nilai-nilai keagamaan. Tentu agama apapun, perilaku korup dilarang. Menjadi musuh yang harus dituntaskan.
Sebelumnya (8/12/2021) bertempat yang sama yaitu di gedung KPK juga, Menteri Keuangan kita, Ibu Sri Mulyani Indrayani, pun menandaskan bahwa korupsi adalah suatu penyakit yang luar biasa berbahaya. Penyakit berbahaya, yang disebut Bu Sri itu, menjadi tantangan saat-saat sekarang, selain virus covid-19. Bisa baca disini
Kedua tokoh nasional ini sepakat bahwa sikap dan perilaku korup, berbahaya dan menjadi tantangan bagi bangsa dan negara Republik Indonesia. Hemat saya, sikap dan perilaku korup berbahaya karena korup itu dilakukan secara struktural, birokrasi.Â
Bagaimana pun, sikap para birokrat ini tidak hanya korup namun kolusi dan nepotisme. Artinya bahwa sikap dan perilaku korup dilakukan secara bersama-sama dan supaya rumit diungkap maka berbagai hal dilakukan. Inilah nepotisme dalam korupsi.
Korupsi dan Arena
Arena sama dengan publik, panggung, suatu tempat yang dapat terlihat atau didengar oleh banyak orang. Media sosial, bisa menjadi arena yang begitu terbuka untuk umum.
Korupsi, berawal di tempat yang tersembunyi. Mengapa? Alasannya sederhana saja. Karena takut dilihat atau diketahui orang lain. Karena yang dilakukan itu tidak sendirian lagi. "Bau amis" semakin membubung tinggi dan menyebar. Warning untuk diketahui orang, sudah diambang batas. Karena "keakoran" bisa saja pecah dalam hitungan waktu.
Ketika sudah mulai kasak kusuk oleh sejawatnya, dalam waktu dekat akan "terbuka". Sikap dan perilaku korup dari arena tersembunyi mulai bergerak ke arena, publik, panggung terbuka, dan tidak lama menjadi viral. Viral di media massa menjadi arena panggung yang begitu luas. Orang yang selama ini tidak mengenal koruptor menjadi kenal.
Dan ketika menjadi viral di media sosial, banyak orang mulai ribut besar. Saling melapor satu sama lain. Saling mempersalahkan antara yang dapat kecil dan yang dapat besar.Â
Tidak hanya itu, publik akan terlibat dalam berbagai komentar-komentar lepas. Dan berbagai komentar itu mempengaruh jagad publik. Citra koruptor benar-benar tak berdaya, rusak secara sosial. Bahkan keluarganya pun ikut dihakum secara massal. Di mata publik, si koruptor diadili secara massa, walaupun memang ada pengadilan negara untuk yang bersikap dan berperilaku demikian.
Arena, yang dimaksudkan disini ialah "penggung penilaian" massa atas perilaku orang yang melakukan korup ataupun hal lain yang bertentangan dengan hukum dan sekaligus merugikan nilai-nilai universal kemanusiaan. Kadang-kadang di arena inilah jauh lebih berbahaya daripada putusan pengadilan.
Di atas arena ini, koruptor benar-benar tak bermartabat. Benar, tak bermartabat karena sikap dan perilaku tidak mencerminkan penggunaan akal budi yang waras. Akal budinya hanya isi dengan keahlian berkorupsip, kolusi, dan nepotisme, tetapi nihil dalam moral dan etika.Â
Disinilah saya menjadi teringat penggalan kata-kata dalam lagu Indonesia Raya, "... bangunlah jiwanya, bangunlah raganya...". Mungkinkah negara ini lupa membangun jiwa? Apakah selama ini negara hanya berfokus pada membangun badan (fisik)?
Korupsi menjadi musuh bersama. Mungkin, inilah yang cocok bagi banyak orang sehingga "arena" media sosial, tempat perlawanan bersama terhadap koruptor.***
Pangkalpinang, 9 Desember 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H